Mungkin ketika kecil ketika kamu ditanya, "Nak, apa cita-citamu?", kamu akan menjawab "guru," "dokter", "polisi". Guru, dokter, polisi adalah jawaban yang paling sering terlontar. Kamu boleh jadi polisi untuk mengayomi masyarakat, jadi dokter yang bisa menyelamatkan banyak orang. Tapi, jangan jadi guru, Nak, kalau kamu berharap jasa-jasamu dihargai, seperti polisi dan dokter bergaji tinggi.
Jangan jadi guru, kalau kamu berharap masa depan yang pasti, pekerjaan yang jelas, profesi yang diapresiasi. Dek, jadi guru berarti kamu siap untuk melapangkan hatimu, bersiap untuk terus diuji kesabarannya. Sejauh ini banyak orang disebut guru karena pekerjaannya mengajar siswa di sekolah, tapi mereka tidak pernah dianggap, Dek. Iya, mereka adalah para GTT ( Guru Tidak Tetap) di sekolah-sekolah negeri. Jangan percaya lagi kata orang tua, kalau guru yang mengabdi di sekolah-sekolah negeri kelak akan langsung diangkat jadi Aparatur Sipil Negara. Dek, kata orang tuamu itu, hanya mimpi belaka.
Dek, pernah gak membayangkan jadi GTT sampai masa pensiun. Mungkin kamu tidak percaya, ada orang setabah itu. Tapi memang ada, Dek, banyak sekali. Ketika banyak enantikan masa pensiun karena purna tugas mereka dan mendapat banyak tunjangan, GTT pensiun dapat apa? Semoga surga dihadirkan untuk mereka. Ngilu hati ini mendengarnya.
Dek, mau tahu pilunya jadi guru di sekolah-sekolah negeri? Gajimu jauh dibawah karyawan pabrik yang hanya berijazah SMA. Sedangkan kamu harus S1, dulu D3 cukup, sekarang harus S1. S1 sudah tercpai, pemerintah bilang guru-guru belum berkualitas maka dibuatlah PPG (Pendidikan Profesi Guru) dan PPGJ. Negara bilang guru adalah profesi sama halnya dengan dokter, maka mereka harus menjadi tenaga professional dan dibuatlah PPG itu. Kalau pekerjaan guru dianggap profesi, tapi kenapa gajinya tidak professional padahal kerjanya profesional.
Oh, iya, Dek, mau tahu apa buntut dari PPG ini? Sayangnya PPGJ hanya untuk PNS dan GTY (Guru Tetap Yayasan). Guru-guru di sekolah negeri tidak bisa PPGJ karena terganjal SK Pemerintah Setempat. Pemerintah sendiri yang melarang pengangkatan guru honorer, tapi mereka sendiri yang membuat peraturan segala persyaratan seperti pengajuan NUPTK, PPGJ mengunakan SK pemerintah setempat. Jelas, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Ketika ribuan guru-guru di sekolah negeri lolos pre test PPGJ, tapi mereka tidak bisa melangkah ke tahap selanjutnya karena masalah SK dan pemerintah setempat hanya diam membisu, sakit, Dek! GTT di sekolah negeri tidak pernah dihargai pemerintah. Mereka hanya nama-nama yang digunakan untuk memenuhi dapodik.
Masuk ke sekolah swasta saja, Dek, kalau mau jadi guru! Guru-guru yayasan yang membesarkan sekolah orang lain, bukan sekolah milik negara justru lebih dihargai oleh negara. GTY bisa mengikuti PPGJ dengan SK Yayasan, segampang itu, Dek. Alangkah lucunya negeri ini! Yang membesarkan orang lain (yayasan) bukan untuk negara, justru lebih diperhatikan. Oh, iya, negara tidak pernah peduli siapa yang mengajar dan mendidik siswa-siswa di sekolah negeri kalau bukan guru yang secara hukum ilegal dan tidak diakui! Dek, capek hatimu ketika bertahun-tahun kamu harus mengalah dan berkorban karena kebijakan pemerintah yang tidak pernah berpihak kepada "umar bakrie" masa kini.
Dek, pikirkan masak-masak sebelum ambil jurusan kuliah. Dek, jangan jadi guru kalau kamu tidak siap 'susah'. Dek, cari pekerjaan lain saja kalau kamu mengharap hidup 'enak'.
Jangan tanya apakah negara tahu kondisi guru-guru ini? Mereka sangat tahu tapi tutup mata. Kalau kamu mencintai dunia pendidikan, bercita-citalah jadi pejabat yang kelak bisa membuat kebijakan yang berpihak pada guru dan dunia pendidikan. Negara yang yang tidak menghargai guru, tidak akan bisa menciptakan system pendidikan yang baik.Â
Guru di Indonesia, selama ini hanya dijadikan kelinci percobaan dari gonta-ganti kurikulum setiap ganti menteri. Â Politik memang pelik, tapi ketika nanti jadi penguasa, jangan kalah sama politik kotor. Jadilah pejabat yang berani mengambil keputusan untuk kebaikan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H