Mohon tunggu...
Aniza Ambarwati
Aniza Ambarwati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pendidik, Penulis, dan mahasiswa magister

A critical person who likes reading, writing, studying, and travelling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jadi Orang Tua Tidak Enak!

8 Maret 2018   23:40 Diperbarui: 9 Maret 2018   09:22 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa yang tidak ingin menikah? Hanya segelintir orang yang menjawab "tidak/belum" dengan berbagai alasan masing-masing. Ketika banyak orang memimpikan pernikahan impian tapi ternyata banyak yang tidak siap dengan konsekuensinya; menjadi orang tua. Ini fenomena yang sedang terjadi. Banyak dari masyarakt kita yang memimpikan pernikahan, nikah muda, menjadi isteri/suami, tapi tidak siap menjadi orang tua. Memutuskan hidup berdua berarti menambah peran sosial seseorang yang artinya peran ganda yang dimainkan semakin banyak. Mungkin ketika peran yang bertambah hanya sebagai suami/isteri, pergantian peran tersebut belum terlalu terasa. Hal berbeda sekali ketika bertambah anggota keluarga bernama "anak".

Kenapa saya menulis judul tersebut? Terkesan sarkas sekali, bukan? Hal ini dikarenakan banyak sekali fenomena bahwa manusia tidak siap jadi orang tua. Ada beberapa kisah dari anak-anak didik saya sendiri dan siswa bimbel yang menjadi korban ketidaksiapan orang dewasa gila (ingin berkeluarga tapi tidak siap mendidik anak).

Penyebab kegagalan seorang anak, tidak jauh-jauh adalah orang tuanya sendiri. Begitupun sebaliknya. Ada satu konsep salah kaprah orang tua zaman sekarang bahwa anaknya tidak boleh menderita seperti orang tuanya dulu. Akhirnya segala kebutuhan materil dipenuhi tapi menyampingkan kebutuhan batin berupa kepedulian dan kasih sayang. Pemenuhan kebutuhan materi sering diartikan sebagai bentuk rasa sayang orang tua pada ankanya. Justru menurut saya ini berlebihan. Ketika seorang anak hanya dipenuhi kebutuhan materilnya maka ia akan tumbuh menajdi anak yang matrealistis dan egois. Ia tidak pernah diajarkan bahwa ada hal-hal yang lebih berharga dari materi. Bentuk kasih sayang berlebihan orang tua tidak cukup hanya soal materi, memanjakan anak ternyata menimbulkan masalah besar pada kemampuannya bersosialisasi di lingkungan sekolah dan masyarakat. 

Siswa saya banyak yang menjadi korban kegagalan rumah tangga. Orang tua bercerai, ditinggal ayah/ibu, hidup dengan nenek/kakek/tante/om. Miris rasanya ketika mendengar cerita pilu yang diceritakan dengan begitu lugu. Mereka hanya bisa menerima keadaan, meskipun hati selalu ingin menolak. Tapi apalah daya. Diluar apapun masalah yang terjadi diantara kedua orangtua mereka, terkadang ada hak anak-anak yang terlupakan setelah perceraian, yaitu kasih sayang seharusnya tetap ada dari orang tuanya.  Berpisah dari pasangannya, seolah memutus rantai kasih dengan anaknya, salah besar! Imbas lain dari perceraian kedua orang tua adalah ketika anak akhirnya dititipkan kembali kepada nenek/kakek karena si Ibu harus bekerja mencari nafkah. Meski tetap dinafkahi oleh mantan suami, tetap saja tidak cukup. Apalagi yang ditelantarkan. Kalaupun bukan korban dari perceraian, ada yang juga ditinggalkan ayahnya sejak kecil sehingga kembali, ibu harus mencari nafkah. Anakpun menjadi kurang terurus dan hanya kebutuhan materinya yang tercukupi. Terkadang seorang anak hidup dengan keluarga yang utuh, tapi orang tua tidak membekali anak dengan ilmu agama dan didikan yang benar, ia tumbuh menjadi berandalan. Ada satu siswa saya(SD) yang sudah mengenal sex sejak TK karena melihat kedua orang tuanya sedang berhubungan. Kecelakaan ini tidak penah diatasi dan terus belanjut hingga dia besar. Bagi saya, hal ini adalah keteledoran yang tidak seharusnya terjadi. 

Ada satu siswa bimbel saya yang masih TK, ibunya adalah wanita karir yang harus sering terbang ke sana ke sini. Ayahnya sudah pergi meninggalkannya sejak ia kecil. Anak tersebut berasal dari kalangan berkecukupan. Ia tinggal bersama kakek yang juga pebisnis dan memiliki karir cemerlang. Akhirnya anak tersebut lebih banyak diurus oleh pembantu. Menurut cerita tentor saya, si anak ini sering ngamuk dan menangis. Sederhana saja, ia ingin memiliki ayah dan mendapat perhatian lebih dari orang tuanya. 

Diluar sana pun banyak sekali cerita tentang kegagalan mendidik anak, ketidakmampuan orang dewasa menjadi orang tua. Cerita-cerita seperti ini yang saya dengar dan lihat, membuat saya ingin berkata pada mereka "jangan buru-buru menikah kalau belum siap jadi orang tua!" Ketahuilah, mendidik mereka dengan "kesulitan" dan kesederhanaan akan membentuk mental mereka menjadi pejuang, bukan pengeluh dan menjadi anak manja. Anak dimanjakan bukan hanya di keluarga kaya, yang kekuranganpun bersikap demikian. Saya terkejut ketika ada salah satu siswa, sudah kelas 5 tidak bisa mengepel karena memang di rumah tidak pernah dibiasakan bekerja. Hampir bisa dikatakan bahwa siswa saya tahun ini, super manja. Mereka tidak suka panas-panasan, diberi tugas selalu banyak mengeluh. Akhirnya hal ini membuat saya putar otak bagaimana memberikan mereka beragam proyek supaya mereka terbiasa bekerja secara mandiri ataupun kelompok. Tentu hal ini juga saya komunikasikan dengan orang tua. Maklumlah mendidik siswa yang tumbuh dilingkungan yang dibilang desa bukan, kota juga bukan, lebih sulit dari pada mendidik anak yang tumbuh di lingkungan kota atau desa sekalian. Sebab gaya hidup mereka cenderung ke kota tapi pemikiran masih desa. Akhirnya sekolahlah yang harus bekerja keras.

Wahai orang tua, anak adalah titipan dari Sang Pencipta. Ia memberimu seorang anak berarti mempercayakan seorang generasi penerus padamu. Ketika kau diberi kepercayaan, pantaskah kau menyia-iakannya? Lihatlah di luar sana, ada berapa juta pasangan yang mengharapkan seorang anak tapi Tuhan belum memberinya. Anak-anak ini dititipkan padamu tidak hanya dididik sebagai generasi penerus bangsa yang cerdas dengan segudang nilai akademis tinggi, memiliki banyak piala, memiliki kehidupan dengan harta melimpah. Lebih dari itu, anak-anak adalah generasi penerus peradaban beragama. Saya tidak bicara hanya agama islam. Kalau didikan agama ini rusak, mau jadi seperti apa peradaban manusia di masa mendatang? Sex bebas merajalela, penyimpangan seksual menjadi barang yang dilegalkan, narkoba menjadi barang halal, pembunuhan antarsaudara,anak membunuh orang tua dan sebaliknya. Apakah hanya agama islam yang melarang hal-hal negatif tersebut? Tidak. Saya rasa semua doktrin agama mengarahkan manusia menjadi pribadi baik.

Islandia yang terkenal sebagai negara teratheis di dunia. Apakah sejak dulu seperti itu? Tidak. Banyak dari mereka sebenarnya penganut agama kristen tapi seiring berjalannya waktu, doktrin agama yang ditanamkan sejak kecil hilang. Mereka tidak lagi pergi ke Gereja di usai tertentu dengan beragam alasan, seperti dunia gereja tidak sesuai dengan mereka lagi dan sebagainya. Akhirnya semua ajaran nilai-nilai agama pun luntur. Mereka melegalkan sex bebas, berhubungan sebelum menikah, tinggal serumah sebelum menikah dengan alasan untuk mengenal pasangan, akhirnya pun tidak mempercayai Tuhan. Jadi kalau ada istilah "islam KTP", bolehlah pinjam jd "kristen KTP".  Tidak semua seperti itu, tapi kebanyakan.

Untuk orang dewasa yang sudah menjadi orag tua dan akan menjadi orang tua, didiklah anak-anak kalian dengan baik. Kalau kalian gagal mendidiknya, kelak kalian sendiri yang sengsara. Jika anak sejak kecil sudah tak acuh pada orang tuanya, bagaimana besar nanti ketika orang tua terlalu renta dan hanya bisa meminta bantuan anak, tetapi tak diacuhkan. Pernahkah terpikir sampai sejauh itu? Bimbinglah mereka untuk mendapatkan masa depan tapi bukan memberikan doktrin bahwa materi segala-galanya. Didik mereka menjadi pribadi tangguh. Didiklah mereka dengan nilai-nilai luhur dan budi pekerti yang baik, agama yang baik. Bagimu umat muslim, bukankah kamu tahu bahwa segala perbuatanmu kelak akan dimintai pertanggungjawaban? Termasuk perihal titipan yang Ia berikan pada mu, berupa anak. 

Ketidakbecusan pola didik di lingkungan keluarga berimbas pada beratnya sekolah memikul beban. Sekolah seringkali menjadi kambing hitam atas berantakannya moral generasi bangsa, terutama jenjang SD. Saya kembalikan lagi, siapa yang paling bertanggung jawab atas anak anda? Anda sendiri sebagai orang tua, bukan? Beban pendidikan sekarang ini justru terbalik. Pertama sekolah, kedua masyarakat dan ketiga keluarga. Lucu sekali, seolah-olah tanggung jawab anak ada dipundak guru. Berhentilah menyalahkan guru dan sekolah jika anak  anda gagal. Lihatlah diri anda sendiri bagaimana anda mengasuh dan mendidiknya. Karena menjadi orang tua perlu belajar, belajarlah sebelum menjadi orang tua.

Ditulis oleh orang yang berstatus sebagai orang tua hanya di sekolah. (saat ini) :) dan kelak akan menjadi orang tua sesungguhnya. :D

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun