Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian suatu negara, termasuk didalamnya negara Indonesia. Diketahui berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sektor pariwisata memberikan kontribusi terhadap PDB sebanyak 3,6 persen atau 4,6 miliar dolar AS pada tahun 2022.
Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan memiliki potensi untuk memanfaatkan keindahan alam, keberagaman adat, budaya serta tradisi yang dimilikinya tersebut. Sekarang ini kita ketahui sudah banyak daerah-daerah di Indonesia yang memutuskan untuk mengembangkan daerahnya menjadi desa wisata. Melalui desa wisata, perekonomian daerah tersebut dapat terus mengalami pertumbuhan seiring dengan adanya tambahan pendapatan yang diperoleh dari para pengunjung. Selain itu, jumlah pengangguran di daerah tersebut juga dapat dipastikan mengalami penurunan sebagai akibat tersedianya lapangan pekerjaan seperti tour guide, penjual cinderamata, menjual oleh-oleh khas daerah tersebut, dan lain sebagainya.
Kemudian dengan adanya desa wisata sendiri juga dapat berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan sekitar, dikarenakan oleh semakin tingginya tingkat kepedulian pihak terkait baik pengelola, pemerintah dan masyarakat terhadap terjaganya kebersihan di lingkungan tersebut. Pemerintah dalam hal ini juga akan melakukan peningkatan terhadap infrastuktur sebagai upaya meningkatkan fasilitas penunjang bagi perkembangan desa wisata itu sendiri.
Namun faktanya, dibalik semua keuntungan atau manfaat dari adanya sektor wisata berupa desa wisata ini, terdapat permasalahan yang perlu untuk diperhatikan dan ditindaklanjuti yakni berkaitan dengan adanya eksploitasi pekerja anak. Isu ini merupakan topik pembahasan yang menarik untuk diperbincangkan, tidak jarang kita jumpai di beberapa tempat wisata ramai sekali pekerja anak, biasanya mereka bekerja menjadi kuli yang membawa barang-barang pengunjung, ojek payung, fotografer bahkan tak jarang dari mereka bekerja menjadi pedagang asongan, pengamen, pengemis, loper koran dan lain sebagainya. Secara umum faktor penyebab munculnya pekerja anak adalah karena faktor ekonomi seperti untuk membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Namun yang perlu dikhawatirkan dalam hal ini adalah kemungkinan para pekerja anak akan dapat terjerumus dalam kegiatan yang menyimpang bahkan terjebak dalam eksploitasi anak secara ekonomi. Parker (2002) telah menyebutkan bahwa beberapa anak terlibat dalam kegiatan anti sosial seperti prostitusi, pencopet atau pengedar obat-obatan terlarang. Sebenarnya hal tersebut merupakan pemandangan yang umum terjadi di Indonesia, walaupun kita ketahui bahwa hal tersebut salah dan perlu untuk ditindaklanjuti.
Maka dari itu, sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bahwa saat ini diperlukan perlindungan khusus anak dalam sektor pariwisata dan perlu dipastikan bahwa perlindungan terhadap anak merupakan tugas bersama dari pemerintah dan masyarakat sekitar. Alasannya sejalan dengan Wijaksono (2013) bahwa pekerja anak yang cenderung mengarah pada eksploitasi akan mempunyai dampak negatif bagi generasi penerus bangsa. Salah satu kasus terkait dengan eksploitasi pekerja anak ditunjukkan pada kasus pengasong kerajinan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika yang didominasi oleh pekerja anak-anak.
Regulasi kebijakan yang mengatur mengenai permasalahan pekerja anak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Usia Minimum Untuk Memperbolehkan Bekerja. Selain itu, berkaitan dengan eksploitasi anak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Secara umum regulasi mengenai perlindungan anak juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
Adanya pekerja anak sendiri sebenarnya sangat disayangkan, alasannya adalah terkait dengan hak anak-anak itu sendiri yang mana mereka ini harusnya tidak boleh memanfaatkan waktunya untuk bekerja melainkan untuk belajar, bermain selayaknya anak-anak usia mereka. Hal tersebut disebutkan dalam Konvensi Hak Anak dengan kriteria berusia dibawah 18 tahun yang memiliki hak mencakup menerima pendidikan, pengasuhan, kesehatan yang layak, perlindungan eksploitasi bekerja, perlindungan aman secara moral dan spiritual.
Walaupun sudah terdapat regulasi yang mengatur permasalahan pekerja anak, namun yang perlu dipertanyakan adalah Apakah implementasi regulasi tersebut berjalan sesuai dengan tujuannya? Jika dilihat pada kenyataannya, keberjalanan dari kebijakan tersebut masih belum optimal, ditunjukkan dari masih adanya ekploitasi pekerja anak di beberapa daerah yang termasuk dalam desa wisata ramah anak. Selain itu, masih dijumpai tantangan seperti kurangnya dukungan dari orang tua anak tersebut, sulitnya proses untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat sekitar, dan banyak sekali anak yang merupakan korban tidak merasa dirinya sebagai korban.
Maka dari itu, mengingat pentingnya anak sebagai generasi penerus bangsa, maka dari itu perlu perhatian lebih lanjut dari pemerintah masing-masing daerah untuk memastikan pekerja anak di daerahnya tidak masuk dalam eksploitasi pekerja anak. Pemerintah dapat melakukan beberapa hal seperti memberikan layanan pencegahan yang dapat dilakukan dengan merubah pemikiran masyarakat setempat, pengurangan resiko dengan mengimplementasikan pariwisata yang ramah anak, dan tentunya penanganan kasus dengan kebijakan dan penegakkan hukum. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, dengan adanya perlindungan terhadap pekerja anak, maka hak-hak anak tersebut akan dapat terpenuhi.
Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian suatu negara, termasuk didalamnya negara Indonesia. Diketahui berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sektor pariwisata memberikan kontribusi terhadap PDB sebanyak 3,6 persen atau 4,6 miliar dolar AS pada tahun 2022.