Pilkada DKI semakin memanas, provokasi para netizen menggelora memenuhi jejaring sosial apapun jenisnya. Tak ada yang lebih heboh dari laman demokrasi selain suara rakyat yang kini disalurkan melalui jejaring sosial. Jejaring sosial bekerja super efektif dan efisien dengan karakter khas yang terbentuk secara alamiah. Informasi dari netizen oleh netizen dan untuk Netizen.
Di jejaring sosial, ratusan informasi bisa dihidangkan dan viral dalam hitungan detik dengan jangkauan hampir tidak terbatas. Jejaring sosial, melampaui kinerja media meanstream baik dalam kualitas, kuantitas maupun efesiensi waktu.
Sebuah contoh, pidato Ahok soal surah Al Maidah 51 di kepulauan seribu. Dalam hitungan menit video yang dipopulerkan oleh Buni Yani membuat “ummat Islam” Indonesia “mendidih”. Dari Ulama sampai rakyat jelata mengepalkan tangan siap melumat Ahok. Ummat Islam siap berjihad “menjaga kesucian al Qur’an”. Akhirnya Ahok minta maaf.
Setelah Ahok minta maaf, stasiun TV one 11 oktober 2016 mengangkat tema tersebut dalam acara ILC. Dari sinilah perang udara di mulai. Perang udara ini melahirkan sosok fenomenal yakni Nusron Wahid yang kini menjadi selebretis Medsos(dibully). Selebritas Nusron di Medsos bersaing ketat dengan tokoh humor Mukidi bahkan ada yang menanggap “setara konyol”.
Keduanya kini menjadi “hiburan gratis” dengan persepsi masing masing. Yang jelas keduanya mampu membuat netizen tersenyum bahkan tertawa terpingkal pingkal. Semakin dibully, Nusron semakin terkenal dan dikenal, saya yakin rakyat Indonesia semakin “cinta” Nusron karena mereka bisa tertawa lepas karena Nusron. Tapi ingat yang paling paham Nusron adalah yang membuat Nusron itu sendiri yakni orang tuanya, yang lain hanya meraba raba atau mengira ngira sesuai kadarnya termasuk Nusron sendiri. Jadi Nusronpun tidak paham sepenuhnya terhadap dirinya sendiri Ha ha ha...
orang bijak mengatakan kualitas seseorang bisa dilihat dari Temannya (teman dekatnya). Maling akan berteman dengan maling, santri akan berteman dengan santri, intelektual akan berteman dengan intelektual. Mencermati penampilan Nusron memang cocok berteman dengan Ahok . kata orang Jawa “tumbu oleh Tutup” klop. Gaya bicara, isi pembicaraan dan bahasa tubuh Nusron mirip sekali dengan Ahok. Tetapi efeknya berbeda Ahok memberikan efek emosi, marah, sementara Nusron memberikan efek gemes lalu ketawa. Ha ha ha
Para Penantang Ahok harus waspada, terus terang saya khawatir kemampuan Nusron membuat gemes dan tertawa ini akan membawa Ahok melenggang ke kursi DKI I. Mengapa? Karena tertawa itu ikhlas dan ikhlas itu jalan menuju kemenangan. Tertawa itu melupakan segalanya bahkan mengobati penyakit, menghilangkan amarah dan rasa dendam. Menyaksikan penampilan Nusron, reaksi para oposan yang pertama adalah marah, kemudian gemes dan terakhir tertawa ha ha ha..sungguh natural banget..ini bisa membuat orang lupa dan langsung pilih Ahok. Paling tidak Nusron memberikan hiburan ditengah himpitan hidup berat di ibukota.
Menengok tim ses Anies – Sandiaga belum memunculkan sosok yang mampu membuat hiburan natural, tertawa lepas. Anies dan Sandiaga pelit hiburan masih memakai produk lama dengan kemasan lama hanya ditambah label “halal”. Tidak ada sesuatu yang baru.
Termasuk Agus HY-Silvi yang masih meyakini model kampanye konservatif ditambah bumbu kontestasi (kampanye) abang none Jakarta. AHY – Silvi Mungkin cocok untuk level ABG pemuja wajah, bentuk tubuh dan dunia mode.
Hari gini janji janji kampanye sudah tidak laku, produk lawas dengan gaya marketing baru plus stempel “halal” sudah jenuh. Rakyat sudah paham siapapun yang jadi gubernur nasib rakyat tidak berubah. Muslim sudah diberi kesempatan puluhan tahun sebelumnya ternyata tidak memberikan dampak signifikan terhadap restorasi Jakarta. Islam sebatas dijadikan komoditas politik menuju kursi kekuasaan.
Buya Syafii Maarif mengingatkan (Suara Muhammadiyah, 14 Oktober) “Gejala Ahok adalah gejala kegagalan parpol Muslim melahirkan pemimpin, tapi tidak mau mengakui kegagalan ini. Selama tidak jujur dalam bersikap, jangan berharap kita bisa menang. Saya tidak membela Ahok. Yang saya prihatinkan, gara-gara seorang Ahok, energi bangsa terkuras habis. Anda harus mampu membaca masalah bangsa ini secara jernih, tidak dengan emosi. Selamat berfikir. “