Mohon tunggu...
Untari Seati
Untari Seati Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangia biasa karena alasan seorang anak aku belajar menjadi ibu yang luar biasa

Selalu bertumbuh dengan belajar dari sang guru kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bilah-Bilah Sesal

13 Februari 2016   11:46 Diperbarui: 13 Februari 2016   12:07 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Untari Seati

Seperti seonggok kapas yang diterbangkan angin, Sungguh ringan tiada daya, tak tau dimana akan terdampari atau hanya akan terhempas dalam kesiaan yang menenggelamkannya hanya dalam buih, tapi hatiku hanya seonggok kapas yang terhempas di pepasiran pantai, dihempas lagi ombak tak tau lagi akan di dadamparkannya kemana, yachhhh.. sesakit itu rasanya dikhianati. Masih belum bisa kulupa dalam benak berucap jika melina sahabat terbaik, tapi dia tega menusukku dari belakang. Mas Angga tak pernah kusangka akan tega berbuat sekeji ini siapapun pasti iri melihat kekompakan kami sebagai sepasang suami istri, dengan setia dia selalu mengantar dan menjemputku tepat waktu, di jam datang dan jam pulang kerja selama 22 tahun terakhir sejak penikahan kami. Fania temen satu bagian sempat memperingatiku, sebulan lalu tapi aku tak ambil pusing karena aku lebih mempercayai angga dibandingkan siapapun di dunia ini karena dia adalah suamiku. Semua diluar duga tanpa rencana yang mampu kujangkau dengan besarnya rasa percayaku, Melia nekat minggat bersama Angga suamiku, membiarkan aku dan Jodi putra kami hidup sendiri. Semua yang kubangun hanya menjadi serpihan sesal yang sulit kembali untuk kusatukan. Ingin rasa nya ku ingkari sakit ini, ingin rasa kulepas duka yang mengukung ini, ingin rasanya kukubur semua kenangan bersama angga tapi yang ada hatiku makin sakit makin kurasakan jerit ingkar ini makin membakar. Mengosongkan asa hangus seketika Asa yang kubangun selama bertahun tahun setelah bersamanya.

“Mery, maafkan aku, angga dalam keadaan sakit parah, dia ingin sekali bertemu jodi sebelum meninggal, tolong maafkan kami mer maafkanlah kesalahan aku “ Tak tau harus ku balas dengan apa, setelah 20 tahun berlalu, kepergian melia bersama angga, tak pernah kulupa semuanya, suara melia yang tak bisa hilang dari hati dan pendengaranku. Mereka selama ini tinggal di Banjarmasin kalimantan Selatan mungkin hidup dibelantara pedalaman kalimantan sehingga saat Angga sakit terlambat mendapatkan penanganan.

Aku hanya mampu tergugu dalam jerat cinta yang pilu. Sakit inikah rasanya, mungkin Angga terlalu tega dengan sakit ku tapi aku tak pernah tega dengan kematiannya, karena dia adalah ayah dari anakku. Segera ke kemas beberapa baju dan pemesanan tiket untuk penerbangan pertama esok pagi ke Banjarmasin kusiapkan beberapa pakaian Jodi yang sesore ini belum ku temui. Selepas magrib barulah kulihat Jagoan ku ini yang mulai bertumbuh menjadi dewasa. Dalam balutan kaos team futsal yang baunya khas cowok, bau keringat yang membangun ingat ku makin meninggkat pada sosok Angga, Ayah jodi yang rasanya ingin kubunuh mati dalam anggan ini agar tiada lagi sesalku. Tapi bisa apa aku melihat Jodi yang makin tumbuh Dewasa menyerupai ayahnya di masa muda. “jodi, mama baru terima kabar ayahmu sakit parah ingin sekali bertemu denganmu”, kulihat masgul sikap jodi menerima berita penting ini, nyaris tanpa ekspresi, malah kelihatan sedikit bingung, lebih tepatnya heran “ memang Jodi punya ayah ya ma”. “ Ya alloh Jodi ..kau tak boleh seperti ini, kita tak boleh membenci orang yang sudah mengukir jiwa raga mu nak, sebesar apapun kesalahannya, bukan hak kita untuk menghakimi, karena sekarang ayahmu butuh kamu”, kembali tubuh jodi memelukku, keringatnya yang mengingatkanku kembali pada sosok angga sungguh kembali mencabikku dengan penuh siksa “maafkan Jodi ma, Jodi bangga pada mama yang mempunyai rasa sayang dan maaf seluas samudra, walaupun papa sudah menyulitkan hidup kita ma”. “ Jody Apapun yang mama lakukan karena selalu ingat untuk kebaikan mu di masa depan sayang, mama tak ingin kau berada dalam keburukan karena ulah mama yang di genggam dendam, sesulit apapun kita akan punya jalan keluar kalau kita masih punya kebaikan”. Kucium sayang anakku semata wayang ini, dalam dekapku larut juga akhirnya bulir bulir air mata tak bisa lagi aku tahan, “ Kamu anak yang kuat Jody, demi kau mama bertahan dan sanggup lakukan apapun”.
Dalam kabut kota Banjarmasin kendaraan yang membawa kami membelah dingin yang menyelimuti pagi ini, kulirik wajah Jody sekali lagi, tubuh bongsor dan tingginya sudah tak pantas lagi bergelayut manja padaku. Tapi tetap saja tak pernah berubah manjanya padaku tak kan pernah berubah.. Tibalah kami dalam bangsal bangsal rumah sakit, kulihat Melia, penuh haru memelukku, dengan berbesar hati aku balas dengan sepenuh tulus dekapan melia, tentang sakit biarlah aku yang merasa tanpa ingin ku bagi pada siapapun dan yang pasti aku tak hendak ingin menganti rasa sakit itu dengan apapun.

Kulihat Angga dalam dekap waktu hatinya terluka, Nyawa tak mau lepas dari raga karena beban kesalahan, bilah bilah sesal sedang menghujam hati dan perasaannya, berkata- katapun tak bisa… seluruh tubuhnya lebam, matanya memerah karena gagal ginjal yang menyiksa raganya setahun terakhir, Kubisikkan dekat telinganya ” yah.. ini mama mery dan Jody, Ikhlas Lilahitaallah kami maafkan segala kesalahan ayah selama ini pada kami”. kulihat airmata menggenang disudut matanya, Jody pun tak kuasa lemah dalam pelukku, dalam genggamanku mas Angga melepas nyawa menghadap Yang Kuasa. Lemah tak lagi bertenaga kupeluk raga suamiku yang berpuluh tahun meninggalkan kami, Melia penuh sesal memandang kami bertiga yang dihujani duka, duka yang sama telah ia torehkan dalam setiap masa olehnya. Sujud memohon dihadapan kami memohon maaf atas khilafnya selama ini, Mel kau sahabatku, membiarkanmu bahagia dengan mas Angga itu maafku, itu ridhoku untuk kalian.

Cerita dari tepi kapuas, 15 Januari 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun