Mohon tunggu...
Untari Seati
Untari Seati Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangia biasa karena alasan seorang anak aku belajar menjadi ibu yang luar biasa

Selalu bertumbuh dengan belajar dari sang guru kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lasmi Sinden Tayup Desa Setaman

14 November 2014   22:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:48 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="467" caption="https://kangrendraagusta.files.wordpress.com"][/caption] Kemarau kembali menjelang... seiring bergugurnya daun daun jati yang merangggas... seperti kebebasannku yang berbatas dalam bingkai usang masa lalu... membelenggu kelu perihnya merengguh dada... menyesakkan ku untuk terus melangkah dalam dalam perih dalam kepalsuan hidup yg tetap harus aku jalani... Namaku Lasmi... seorang sinden Tayub di desa yang terpencil dan kemiskinan yang memaksaku tetap menempuh jalan ini... kemunafikan hidup rasanya tak sanggup lagi kujalani... karena kemiskinan bapakku terpaksa menikahkan aku dengan seorang anak sodagar padi... yang hanya bisa memberiku mimpi selebihnya hanya sakit hati... setelah aku hamil anakku yang ke2 dia pergi entah kemana... bersama perempuan lain hanya meninggalkan hutang dan kemiskinan. Hidupku makin sarat beban dengan mulut-mulut mungil anakku yang membutuhkan susu formula untuk pertumbuhannya... kekuatanku makin berkobar untuk mendapatkan lembaran uang dengan cara apapun... saat mbah leman menawari ku untuk menggantikan lestari yang sedang sakit  sinden tayup yang cukup ternama didesa kami... seperti mimpi rasanya saat semua kujalani... berdandan dalam pakaian kemben jawa... bersanggul dengan selendang merah berselempang... kucoba mengumpulkan asaku yg sesak menghimpit... percaya diriku yang terhampar berserakan...berlahan menghempaskannya dalam setiap lenggok tarianku seiring irama gending jawa... keringat bercucuran.. seorang lelaki setengah baya mendekatiku dalam bayangan birahi yang membiru... aku pasrah mengikuti... dengan lembaran-lembaran uang ratusan ribu yang  diselipkan didadaku... ditengah arena tarian tayub... semua semakin takjub... seiring irama gending yang menggema...larut dalam tatapannya yang membius...Usai acara sang pria setengah baya tetap menungguku... di bawah arena panggung.. Mbah Leman mendekatiku dan membisikan sesuatau... dengan menunduk aku mendengarkan ucapannya.. Hebat Lasmi kamu sudah menaklukkan Lurah desa Setaman... dia sebentar lagi jadi duda karena istrinya sudah sakit parah... kugigit bibirku kelu beginikah hidup untuk bisa makan tapi harus mendoakan kejelakan pada seorang istri yang meregang nyawa sementara sang suami berada dalam pelukanku... Benar saja Lurah desa setaman berkali kali datang... kuakui banyak lelaki lain pun sering bertandang kerumah, tapi tak sesering pak lurah... sampai aku lupa... menggunakan pengaman, tak lama setelahnya aku dengar kabar berita bu lurah meninggal dunia, tak tau aku mesti sedih ataukah bahagia... tak kusadari aku telat sudah 3 bulan... sudah hampir sebulan pak lurah tak mengunjungiku... resah merambati...  jantungku hampir terlepas ketika mendengar obrolan tukang ojeg di pasar wage... pak lurah sudah menikah dengan pengusaha kaya dari jakarta... Mimpiku tetiba terpenggal saat sepotong hayal meracuni inginku menjadi seorang ibu lurah desa setaman semua penghormatan akan aku dapatkan... rasa sakit yang merambati... saat malam sepi aku bertanya pada diriku sendiri... ohhh lasmi... apa yang sebenernya kau cari... anak dalam perut ini adalah kebodohanmu yang kesekian kali... karena lelaki hanya butuh tubuhmu tanpa peduli pada hatimu apalagi harapanmu... tidak sama sekali... tangisku makin menjadi... hanya rasa sesak yang menyeruak... kucabik rambut ku sakit rasanya... kuremas perutku ... ohhhh... Gusti... bagaimana aku mesti jalani ini aku terlalu bodoh dengan hidupku dengan jalanku yang kukotori sendiri... Di Senja sepi... pak lurah datang mengunjungi... aku tak seperti biasa terlalu banyak bicara kepadanya... biasanya aku melayaninya... tapi sepertinya dia tak hendak membutuhkan lagi tubuh ini... aku diam dia pun diam ...hanya sepotong kata maaf yang terucap... jika dia tak bisa lagi sering sering lagi datang padaku lagi... entah kekuatan datang dari mana... seperti gemuruh  gunung yang hendang menghempaskan magma... sebilah cundrik ketikamkan didadanya... darah hitam deras mengalir... Ku berikan maafku kepadamu... maaf juga untukmu sang lurah desa setaman... aku hanya meminta nyawamu untukku... untuk anak kita... agar selalu bersama dalam keabadian... Depok 14 november 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun