ada yang masih ingat Memori AFF 2010
-----------------------------------------
Surat untuk Firman utina
Kawan, kita sebaya. Hanya bulan
yang membedakan usia. Kita
tumbuh di tengah sebuah
generasi dimana tawa bersama
itu sangat langka. Kaki kita
menapaki jalan panjang dengan
langkah payah menyeret sejuta
beban yang seringkali bukan
urusan kita. Kita disibukkan
dengan beragam masalah yang
sialnya juga bukan urusan kita.
Kita adalah anak-anak muda
yang dipaksa tua oleh televisi
yang tiada henti mengabarkan
kebencian. Sementara adik-adik
kita tidak tumbuh sebagaimana
mestinya, narkoba politik uang
membunuh nurani mereka.
Orang tua, pendahulu kita dan
mereka yang memegang tampuk
kekuasaan adalah generasi
gagal. Suatu generasi yang hidup
dalam bayang-bayang rencana
yang mereka khianati sendiri.
Kawan, akankah kita berhenti
lantas mengorbankan diri kita
untuk menjadi seperti mereka?
Di negeri permai ini, cinta
hanyalah kata-kata sementara
benci menjadi kenyataan. Kita
tidak pernah mencintai apapun
yang kita lakukan, kita hanya
ingin mendapatkan hasilnya
dengan cepat. Kita tidak
mensyukuri berkah yang kita
dapatkan, kita hanya ingin
menghabiskannya. Kita enggan
berbagi kebahagiaan, sebab
kemalangan orang lain adalah
sumber utama kebahagiaan kita.
Kawan, inilah kenyataan
memilukan yang kita hadapi,
karena kita hidup tanpa cinta
maka bahagia bersama menjadi
langka. Bayangkan adik-adik
kita, lupakan mereka yang tua,
bagaimana mereka bisa tumbuh
dalam keadaan demikian.
Kawan, cinta adalah persoalan
kegemaran. Cinta juga masalah
prinsip. Bila kau mencintai
sesuatu maka kau tidak akan
peduli dengan yang lainnya.
Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para
kriminal yang suka mencuci
muka apalagi kepada kuli
kamera yang menimbulkan
kolera. Cinta adalah
kesungguhan yang tidak dibatasi
oleh menang dan kalah.
Hari-hari belakangan ini
keadaan tampak semakin tidak
menentu. Keramaian puluhan
ribu orang antre tidak
mendapatkan tiket. Jutaan orang
lantang bersuara demi
sepakbola. Segelintir elit
menyiapkan rencana jahat untuk
menghancurkan kegembiraan
rakyat. Kakimu, kawan, telah
memberi makna solidaritas.
Gocekanmu kawan, telah
mengundang tarian massal tanpa
saweran. Terobosanmu, kawan,
menghidupkan harapan kepada
adik-adik kita bahwa masa
depan itu masih ada.
Tendanganmu kawan, membuat
orang-orang percaya bahwa
kata “bisa” belum punah dari
kehidupan kita. Tetapi inilah
buruknya hidup di tengah bangsa
yang frustasi, semua beban
diletakkan ke pundakmu.
Seragammu hendak digunakan
untuk mencuci dosa politik.
Kegembiraanmu hendak
dipunahkan oleh iming-iming
bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil
kemarin, ada yang mengatakan
kau terkapar, tetapi aku percaya
kau tengah belajar. Di Senayan
esok, mereka bilang kau akan
membalas, tetapi aku berharap
kau cukup bermain dengan
gembira.
Firman Utina, kapten tim
nasional sepak bola Indonesia,
bermain bola lah dan tidak usah
memikirkan apa-apa lagi. Sepak
bola tidak ada urusannya dengan
garuda di dadamu, sebab simbol
hanya akan menggerus
kegembiraan. Sepak bola tidak
urusannya dengan harga diri
bangsa, sebab harga diri tumbuh
dari sikap dan bukan harapan. Di
lapangan kau tidak mewakili
siapa-siapa, kau
memperjuangkan kegembiraanmu
sendiri. Di pinggir lapangan, kau
tidak perlu menoleh siapa-siapa,
kecuali Tuan Riedl yang percaya
sepak bola bukan dagangan para
pecundang. Berlarilah Firman,
Okto, Ridwan dan Arif, seolah-
olah kalian adalah kanak-kanak
yang tidak mengerti urusan
orang dewasa. Berjibakulah
Maman, Hamzah, Zulkifli dan
Nasuha seolah-olah kalian
mempertahankan kegembiraan
yang hendak direnggut lawan.
Tenanglah Markus, gawang
bukan semata-mata persoalan
kebobolan tetapi masalah
kegembiraan membuyarkan
impian lawan. Gonzales dan
Irvan, bersikaplah layaknya
orang asing yang memberikan
contoh kepada bangsa yang
miskin teladan.
Kawan, aku berbicara tidak
mewakili siapa-siapa. Ini
hanyalah surat dari seorang
pengolah kata kepada seorang
penggocek bola. Sejujurnya, kami
tidak mengharapkan Piala
darimu. Kami hanya
menginginkan kegembiraan
bersama dimana tawa seorang
tukang becak sama bahagianya
dengan tawa seorang pemimpin
Negara. Tidak, kami tidak butuh
piala, bermainlah dengan
gembira sebagaimana biasanya.
Biarkan bola mengalir, menarilah
kawan, urusan gol seringkali
masalah keberuntungan. Esok di
Senayan, kabarkan kepada
seluruh bangsa bahwa
kebahagiaan bukan urusan
menang dan kalah. Tetapi
kebahagiaan bersumber pada
cinta dan solidaritas.
Berjuanglah layaknya seorang
laki-laki, kawan. Adik-adik kita
akan menjadikan kalian teladan
By E S Ito
-------------------------------------------------------
Rasanya masih segar diingatan bagaimana euforia AFF 2010, pemandangan yang tak lazim bagi bangsa ini, bagaimana sepak bola telah mempersatukan kita. Tak peduli kalangan mana supporter mana, yang mereka tahu hanyalah mereka datang untuk timnas,
Fanatisme dan nasionalisme yang begitu besar mereka tunjukkan, dukungan tak henti-hentinya mengalir untuk para punggawa timnas, pemain datang bak seorang pahlawan yang sedang berjuang di medan perang.
dukungan buat Bp, M.Ridwan, Ahmad bustomi,Hamka Hamzah dan juga sang kapten Firman utina,
Hampir tiap hari halaman pemberitaan mengupas tentang mereka, dipuja, di banggakan, diidolakan, benar-benar sebuah penghargaan yang begitu besar yang diberikan masyarakat kepada mereka melebihi atlet lain yang telah memberikan prestasi kepada bangsa ini.
Masih ingatkah kita akan surat yang ditulis salah satu pendukung timnas dalam blognya yang ditujukan kepada Firman Utina, surat yang begitu menyentuh,sebuah surat yang menggambarkan sebuah dukungan, harapan dan kecintaan masyarakat kepada timnas,sepak bola bukanlah politik, bahkan bukan kemenangan yang mereka harapkan tapi hanya PERSATUAN.
Namun sangat kontras dengan keadaan yang terjadi saat ini,
Perasaan miris melihat pemberitaan di media dan jejaring sosial beberapa hari ini. Disaat mantan punggawa timnas yang tergabung dalam team KPSI mempertontonkan kehebatan mereka meng-atas namakan timnas indonesia dgn memukul telak sebuah klub di australia 8:0, tapi bukanlah sebuah pujian yang mereka terima melainkan cacian, hampir disetiap media yang mengulas berita tersebut tak tanggung-tanggung akan kita temui ratusan komentar bernada ejekan baik kepada tim maupun pemain.
Apapun dan siapapun yang melatar belakangi konflik, yang menyebabkan hal ini terjadi, Rasanya tidak mungkin mengecualikan hal ini kepada pemain, menganggap mereka bukanlah bagian dari hal itu, karena kenyataannya pemainlah sebenarnya aktor utama. Pemainlah yang menjalankan peran mereka masing-masing, di pihak mana mereka akan berdiri. Sebuah konsekuensi memang, karena kenyataannya hidup adalah pilihan.