Mohon tunggu...
Rosafiati Unik
Rosafiati Unik Mohon Tunggu... -

Lahir di Purwokerto, menghabiskan masa kecil di Denpasar hingga lulus SMA. Meneruskan kuliah di sebuah universitas negeri di kota Solo. Saat ini bekerja di sebuah direktorat di bawah Kementerian Keuangan RI

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peluk Ibumu Selagi Ada Waktumu

14 Desember 2011   09:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:18 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kamis sore kemarin, seorang stafku, Nuky, masuk ke ruangan mungilku. ‘Saya mau ijin bu, ibu saya masuk rumah sakit di Garut, stroke. Beritanya baru saja saya terima’. Aku melirik jam dinding di seberang sana. Pandangan mataku membuatnya bergerak melihat jam tangannya. ‘Tapi tanggung ya bu, tinggal satu jam lagi’, demikian katanya membatalkan kalimat permintaan ijin sebelumnya. Aku mengangguk menyetujui. Menunda satu jam kepulangannya dari kantor, tidak akan berarti banyak dengan keberangkatannya nanti dari rumahnya ke Garut. Namun cukup berarti bagi konditenya dan penalty yang harus dia terima sebagai aturan karena ia pulang cepat.

Pertanyaanku tentang kondisi ibunya membuatnya menghampiri mejaku dan kemudian duduk dihadapanku. ‘Ini stroke yang kedua’, katanya. Aku terdiam, tertegun, tercenung sendiri. Aku lupa apakah saat itu Nuky berbicara atau tidak. Tiba-tiba aku teringat almarhum bapak. Bayangan bapak di hari-hari terakhirnya berkelebat dengan cepat namun sangat dalam.

Ada hal yang aku sesali karena tidak ku lakukan sampai hari terakhirnya. Bukan aku tak mau, tapi aku tak bisa. Aku tidak bisa mengatakan ‘aku sayang bapak’ dan yang lebih parah, aku tak bisa memeluknya. Mungkin dalam benakmu kawan, itu adalah hal yang aneh. Tapi coba tanyakan pada diri sendiri, kapan terakhir kau memeluk ayahmu? Kapan terakhir memeluk ibumu? Kapan terakhir menyatakan sayang pada mereka? Syukurlah bila kau baru saja melakukannya kemarin sore.

Aku bahkan tidak menitikkan setetes pun air mata saat kepergian bapak. Bapak dinyatakan meninggal oleh dokter di ICU hanya beberapa detik setelah aku mengaji di sampingnya menyelesaikan surat bacaanku. Sedemikian keras dan kaku-nya kah hatiku?

Aku mencoba mengingat pengalaman masa kecilku.

Orang tuaku adalah orang tua dengan karakter rata-rata masa itu. Orang tua dengan minim sentuhan pada anak-anaknya. Aku tidak terbiasa disentuh secara fisik oleh baik ibu apalagi bapak. Aku lupa apakah ibu pernah mengatakan ‘sayang’ pada kami, anak-anaknya. Aku tak ingat apakah ibu pernah memelukku atau tidak. Bapak? Apalagi…

Karenanya kami terbiasa hidup dan tumbuh dengan situasi seperti itu. Aku merasakan dan melewatinya sebagai hal yang wajar saja. ‘Sayang’ dan ‘cinta’, itu hanya perbendaharaan kata yang aku temukan di bahan bacaanku.

Setelah dewasa dan menjadi orangtua bagi kedua anakku, aku baru mengerti itu. Mengerti bahwa sentuhan fisik, sekecil apapun sangatlah penting dan berarti bagi anak-anak. Ucapan dan ungkapan ‘sayang’, itu adalah hal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak nantinya. Aku mendapatkannya dari membaca.

Aku tak sempat melakukannya pada bapak. Mudah-mudahan bapak tahu, bahwa tanpa ku peluk dan kukatakan sayang, aku sungguh menyayanginya dan memeluknya dalam setiap doa yang kupanjatkan padaNya. Sekali ini, biar ku katakan disini saja, ‘Pak, aku sayang bapak’.

Aku mengibaskan kepalaku, mengusir bayangan tentang bapak. Tersenyum. Nuky masih duduk di depanku. ‘Maaf, tiba-tiba aku teringat almarhum bapak’, kataku. Sedikit aku ceritakan pada Nuky penyesalanku terhadap suatu hal yang tak sempat kulakukan dan kuungkapkan pada bapak.

Ku minta pada Nuky, nanti bila bertemu ibu, ‘Peluk beliau ya, dan katakan sayang padanya’. Nuky hanya tersenyum. Mungkin dia berfikir, atasannya sedang terbawa suasana hati dan perasaan.

Aku bisa menyuruh Nuky, memintanya untuk memeluk dan mengatakan ‘sayang’ pada ibunya. Padahal aku sendiri ragu dengan kemampuanku. Aku ingin bisa memeluk ibu dan mengatakan sayang padanya. Bisakah kau bayangkan, yang biasa terjadi? Saat ibu menangis, bersedih entah karena apapun, aku hanya sanggup mematung di depannya. Menghiburnya hanya dengan kata-kata. Oh, betapa beratnya menggeser badan ini dan merangkulkan kedua tangan ini pada tubuhnya. Rasanya ada ratusan kilogram besi yang menggelayuti kedua tanganku, hingga aku tak pernah bisa menggerakkannya untuk tujuan satu itu.

Aku ingin bisa melakukannya nanti, pada kesempatan pertama bertemu dengan ibu. Doakan ya, mudah-mudahan berhasil . Selagi ibu masih diberi umur, aku tak ingin menyesal nanti karena tak mampu melawan kelemahanku ini.

Ibu, aku sayang padamu.

Jumat pagi tadi saat aku mengambil ponselku, ada tanda bahwa ada sebuah pesan diterima. Kapan masuknya ya, kenapa aku tak mendengar bunyinya?

Dari Nuky. Terkirim semalam jam 23.55, bunyinya: Innalillahi wa Innailaihi Rojiun. Telah meninggal dunia ibunda kami tercinta di RSHS Bandung sekitar jam 11 malam. Semoga amal ibadahnya diterima, mohon maaf atas segala kesalahan. Amin.

Tak ada seorangpun yang kuasa melawan kehendakNya. Semua milikNya akan kembali padaNya.

Tak perlu mengira-ngira, apalagi meramalkan, semua adalah rahasiaNya. Tugas kita hanya senantiasa bersiap, dan mengikhlaskan.

Satu hal yang belum ku tanyakan pada Nuky.

Nuky, sempatkah kau lakukan apa yang kemarin ku pinta?

uniqqo@Cibubur, 18 Desember 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun