Mohon tunggu...
Rosafiati Unik
Rosafiati Unik Mohon Tunggu... -

Lahir di Purwokerto, menghabiskan masa kecil di Denpasar hingga lulus SMA. Meneruskan kuliah di sebuah universitas negeri di kota Solo. Saat ini bekerja di sebuah direktorat di bawah Kementerian Keuangan RI

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Doa: Berfikir Kuantitas

21 Desember 2010   07:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:32 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pernahkah kawan memperhatikan penjual asongan di perempatan jalan menawarkan barang dagangannya? Apakah mereka menghampiri satu merk mobil tertentu saja untuk ditawari dagangannya? Atau mereka hanya menawarkan pada pengemudi dengan jenis kelamin atau usia tertentu saja? Ku rasa tidak.
Mereka menawarkan pada semua mobil dan motor, tanpa peduli merk, buatan negara mana, jenis, tahun pembuatan, jenis kelamin pengemudi, umur pengemudi, bahkan juga kepada pejalan kaki. Prinsipnya, semua orang yang ada di sekitar perempatan jalan itu mereka tawari, tanpa kecuali. (Kata ‘kecuali’ hanya singgah bila tak jauh dari mereka terparkir sebuah mobil bertuliskan besar ‘SATPOL PP’. Saat itu mereka tidak menawari siapa-siapa, sibuk menyelamatkan diri).
Hal tersebut mereka lakukan tentu karena mereka tidak tahu, dari mobil atau motor mana tawaran mereka akan bersambut.
Aku menyebut situasi tersebut dengan istilah ‘berfikir kuantitas’.

Mungkin analogi tersebut terlalu sederhana bila cara berfikir seperti itu aku hubungkan dengan Tuhanku. Namun begitulah kawan, yang terjadi padaku. Aku berdoa, memohon padaNya dengan menggunakan pola berfikir kuantitas. Karena aku tidak tahu, Tuhan akan mengabulkan doaku yang mana, lantas apa salahnya bila aku berdoa sebanyak-banyaknya?
Mungkin cara berfikirku terlalu sederhana, tapi dengan logika yang juga sederhana, kurasa Tuhan akan berkata: bila kalian tidak meminta, bagian mana dari keinginan kalian yang harus aku kabulkan?

Aku hobi berdoa.
Dari doa yang complicated sampai doa yang paling sederhana. Teman-teman yang rajin membaca status FB-ku tentu memperhatikan, aku seperti bercanda saja pada Tuhan saat meminta sesuatu. Meminta Tuhan menyelamatkan absen pagiku dengan cara merusakkan mesin absen, meminta tolong menerbangkan aku melewati kemacetan agar aku bisa sampai kantor sebelum batas waktu berakhir. Terdengar tidak logis kan? Pak ustadz mungkin akan menegurku, karena caraku tidak memenuhi kaidah ‘Cara Berdoa yang Baik dan Benar’. Ha ha.. Tapi Tuhan tentu punya cara untuk mengabulkannya. Percayalah.
Karena bagiNya, mengabulkan itu sama mudahnya dengan menolaknya.

Seorang teman menegurku karena aku tidak berhemat dalam berdoa. Aku membalas tegurannya dengan pernyataan bahwa doa itu tidak pakai quota. Dia masih berargumen bahwa pengabulannya yang pakai quota.
Ah, temanku... Kalau saja aku tahu doa yang mana yang akan Ia kabulkan untukku, aku tentu tak akan repot berdoa untuk sesuatu yang kutahu tak akan dikabulkanNya. Justru karena aku tak tahu, maka ku pasrahkan urusan pengabulannya pada yang maha kuasa.
Jadi, lupakan quota, tetap berfikir kuantitas.

Karena berfikir kuantitas pula, aku tak segan menawarkan pada teman bila ia ingin aku doakan. Terserah dia, percaya aku atau tidak.
Tapi please, jangan tampik saat aku menawarkan padamu, “Temanku, kamu ingin aku berdoa apa untukmu?” Aku sadar aku bukan malaikat yang permintaannya senantiasa dikabulkan Tuhan, aku juga bukan kyai yang doanya bisa jadi lebih dekat untuk didengar Tuhan, aku bukan ustadzah yang setiap katanya mungkin adalah doa. Tapi aku percaya, Allah mengabulkan doa yang dipanjatkan dengan penuh keyakinan.
Pernahkah ada seseorang yang menawarimu untuk didoakan seperti itu? Aku pernah.
Taukah kau bagaimana rasanya? Terharu tauuuuuu.....

Sebaliknya, pernahkah seseorang mendoakanmu untuk sesuatu yang sebenarnya berseberangan dengan keinginanmu? Bagaimana sikapmu? Apakah karena alasan ‘menghormati’ kau bersedia meng’amin’kannya?
Hhuufft.... untukku, maaf, aku tidak berani bermain-main dengan ‘Amin’ karena kata itu bermakna sangat dalam untukku: Ya Allah, kabulkanlah doa ini.
Bagaimana bila ternyata ‘amin’ku dari doa teman kali itu dikabulkanNya? Huuaaa...
Saranku, jangan bermain-main dengan ‘Amin’...

Tak semua doa akan dikabulkanNya di dunia.
Betul itu. Beberapa proposal doaku tak pernah terwujud sampai saat ini. Tapi apa karenanya lantas aku kapok mengajukan proposal yang sama? Ooh, tidak. Aku masih tetap mengajukan dan percaya semuanya masih masuk dalam kategori ‘work in process’.
Karena aku pernah berdoa dengan keras saat aku di tempatkan di sebuah kantor yang sangat tidak nyaman untukku. Doaku siang malam adalah agar aku sesegera mungkin bisa pindah dari kantor itu. Apakah Tuhan mengabulkannya dalam sekejap? Ho hoo.. tentu tidak. Cara itu tentu tidak akan menempaku untuk menjadi lebih kuat. Terbayang betapa manjanya aku jadinya bila semua permintaanku diwujudkannya persis seperti yang ku minta. Aku tahu, itu bukan caraNya.
Aku harus melewati perjuangan terlebih dahulu, baru kemudian Ia kabulkan apa yang kuminta. Walau terhitung cukup luar biasa, aku bisa pindah dari kantor tak nyaman itu dalam hitungan belasan bulan, namun semuanya tampak wajar.
Tuhan rupanya menyukai hal yang logis.

Kawan...
Pernah dengar pernyataan bahwa orang yang tak pernah meminta padaNya adalah orang yang sombong? Padahal kesombongan itu semata-mata hanyalah hakNya. Karena aku tak mau di cap sombong, maka aku sering meminta padaNya, hehe..
Mungkin pendapatku kali ini dalam tulisan ini tidak sepenuhnya benar. Tapi ini aku ringkas dari pengalaman hidupku yang banyak mengajariku tentang hal yang satu ini. Jadi, aku tetap pada pendapatku: berfikir kuantitas, berpraduga baik padaNya, berkesungguhan, dan yakin terhadap doa yang dipanjatkan. Selanjutnya, biarkan Tuhan yang memutuskan.
Ia, Maha Mendengar. Tidak hanya doa yang tertulis, atau terucap, bahkan yang hanya terlintas dalam hatipun bisa dikabulkanNya. Percayalah.

uniqqo@cibubur, 23.03.10

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun