Buku ini dikeluarkan oleh ILO dengan judul asli “ILO principles concerning the right to strike” ditulis pada tahun 2000 oleh Bernard GERNIGON, Alberto ODERO dan Horacio GUIDO. Buku ini diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia menjadi Hak Mogok. Buku ini menjelaskan prinsip dasar mogok , biarpun tidak secara jelas diatur dalam konvensi dan rekomendasi ILO namun Konvensi tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berorganisasi tahun 1948 (No. 87) telah membuat hak organisasi- organisasi pengusaha dan pekerja untuk “mengatur administrasi dan kegiatan mereka serta untuk merumuskan program-program mereka” (Pasal 3), dan tujuan dari organisasi-organisasi ini adalah untuk “mendorong dan membela kepentingan pekerja atau pengusaha” (Pasal 10), (ILO, 1996a, halaman 528 dan 529), sehingga pasal dalam konvensi tersebut mengatur secara tidak langsung hak mogok ini. Oleh karena buku ini akan mengulas tentang prinsip -prinsip hak mogok yang ditetapkan oleh Komisi Badan pimpinan tentang Kebebasan Berserikat dan oleh Komisi Ahli tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi yang telah berkembang pesat selama dekade terakhir ini. Juga perlu diketahui bahwa sesuai dengan prinsip ini, Komisi Kebebasan Berserikattelah mengakui bahwa aksi mogok merupakan hak dan bukan sekedar aksi sosial:
- hak yang dimiliki oleh para pekerja dan organisasi-organisasi mereka (serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat buruh);
- hak pekerja/buruh untuk mempromosikan dan membela kepentingan ekonomi dan sosial para pekerja ekonominya;
- mengurangi jumlah kategori pekerja yang dapat dicabut hak mereka atas hak ini, serta pembatasan-pembatasan hukum atas pelaksanaannya, yang tidak boleh berlebihan;
- menetapkan bahwa pelaksanaan yang sah dari hak mogok tidak boleh mengakibatkan hukuman yang merugikan dalam bentuk apapun, yang termasuk tindakan diskriminasi anti serikat buruh.
Buku ini menjadi menarik untuk dibaca para aktifis dan pemimpin buruh karena memahami secara prinsip penggunaan hak ini menjadi penting karena secara umum sering aksi mogok umumnya dianggap sebagai kegiatan tidak sah yang bersifat kriminal. Hak mogok adalah dilindungi. Mogok juga “tidak bisa dihindari” karena merupakan hak fundamental yang inherent (melekat) dalam kebebasan berserikat dan hak untuk berunding. Hak mogok menurut Profesor Aloysius Uwiyono (2001, Hak Mogok di Indonesia) adalahrights as claims atau teori hak sebagai dasar tuntutan. Hak dikonsepkan sebagai dasar tuntutan yang kuat, asalkan ditopang oleh argumentasi hukum yang benar dan klaim mengeyampingkan klaim pihak lain. Misalnya klaim itu dilakukan oleh subyek hukum yang berhak, dan secara yuridis klaim itu (rights as claims) mogok yangdilakukan berlandaskan argumentasi hukum yang benar, merupakan hak yang dilindungi oleh hukum. Tapi perlu diingat bahwa, mogok bukan hanya sekedar perintah untuk melakukan tindakan itu. Ada mekanisme mengapa harus terjadi, misal perundingan gagal dan serikat pekerja/serikat buruh melakukan pemungutan suara (ballot strike vote) untuk menetapkan bahwa serikat pekerja/serikat buruh ini akan mogok (tentunya dengan jumlah mayoritas pemilih. Mayoritas pemilih mengaskan bentuk dukungan dan legitimasi atas tindakan serikat pekerja/serikat buruh). Tetapi saya amati banyak pemimpin buruh dan serikat pekerja/serikat buruh melakukan aksinya tanpa ada tindakan rapat organisasi untuk mengesahkan tindakan mereka, yang penting ada seruan ketua umum atau perintah melalui surat! Perlu juga diketahui bahwa banyak perbedaan dalam mengartikan aksi serikat pekerja/serikat buruh bahwa semua tindakan yang mengerahkan aksi masa (anggota) dan dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh disebut dengan tindakan mogok, padahal mereka melakukan aksi protes atau demo. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memberikan definisi yang dimuat dalam pasal 1 angka 23 sebagai berikut : “Mogok kerja adalah tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan”. Baca selanjutnya disini Menurut tata bahasa Indonesia yang disebut dengan protes adalah pernyataan tidak menyetujui, menentang, melancarkan kecaman pedas dan keras. Sedangkan demo atau demontrasi adalah tindakan untuk menyampaikan penolakan, kritik, ketidakberpihakan, mengajari hal-hal yang dianggap sebuah penyimpangan. Apakah ini juga dilindungi oleh undang-undang? Pasal 28 UUD 1945 mengatur dasar kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Tetapi dalam aturan dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tidak dijelaskan atas definisi protes dan demonstrasi, yang diatur adalah hanya tentang hak mogok. Jadi apakah selama ini tindakan serikat pekerja/serikat buruh tersebut syah? Silahkan baca buku tentang hak mogok disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H