Pendekatan anti kekerasan dan inklusif menuntut proses pembangunan masyarakat dibangun atas dasar konsensus, dan bahwa pembuatan keputusan dengan konsensus harus diterapkan semaksimal mungkin.
Banyak pendekatan pekerjaan pembangunan masyarakat yang cenderung didasarkan model konflik daripada konsensus. Dalam suatu model konflik, penekanannya adalah pada pemenangan, mengakali lawan (yang bisa berupa penguasa lokal, perusahaan pertambangan, tuan tanah, pengembang (developer), dan ‘penjahat/bajingan’ lainnya), atau mencapai sesuatu dengan mengorbankan sesuatu atau orang lain. Bahasa setengah militer banyak pekerjaan pembangunan masyarakat - kampanye, strategi, taktik, perlawanan – menunjukkan secara tak samar asumsi model konflik. Masalah dengan pendekatan konflik adalah bahwa pendekatan tersebut menghasilkan lebih banyak “pecundang” daripada “pemenang”, dan akibatnya para pecundangnya akan termarjinalisasi dan terasingkan. Cara kerja ini bertentangan dengan community building, dan bertentangan dengan pendekatan tanpa kekerasan.
Namun demikian, pendekatan konsensus berjalan menuju kesepakatan, dan mengarah pada pencapaian suatu solusi yang menjadi ‘milik’ semua kelompok dan masyarakat. Ini konsekuensi tak terelakkan dari (prinsip) tanpa kekerasan dan inklusivitas. Konsensus berarti lebih dari sekedar menyetujui untuk menerima kehendak mayoritas, yang dapat membiarkan 49% masyarakat merasa kecewa. Ini juga berarti lebih daripada sekedar berkompromi, yang membiarkan setiap orang merasa dikecewakan. Lebih baik, ini menyiratkan bahwa kelompok atau masyarakat tersebut melakukan sendiri proses usaha untuk menemukan solusi atau arah tindakan (course of action) yang dapat diterima dan dimiliki semua orang, dan dimana warga masyarakat setuju bahwa apa yang telah diputuskan adalah yang paling dikehendaki oleh semua orang. Konsensus tidak selalu dapat dicapai dengan cepat, dan perlu dibangun. Ini akan sering memerlukan waktu yang lebih panjang daripada bentuk-bentuk pembuatan keputusan yang lebih konvensional, dan bisa menjadikan frustrasi bagi mereka yang terbiasa menggunakan voting (pemberian suara) dan ‘menghitung jumlah suara’. Namun demikian, dalam jangka panjang akan memperoleh hasil yang jauh lebih memuaskan, dan memberikan basis yang jauh lebih kuat bagi pembangunan masyarakat. Ini juga menyiratkan kemauan dan komitmen di pihak para anggota masyarakat untuk mencapai konsensus, dan komitmen untuk tidak menghalang-halangi konsensus yang dicapai.
Konsensus pada dasarnya berarti bahwa bekerja melalui sebuah persoalan, namun demikian panjang waktu yang diperlukan agar setiap orang merasa lega (comfortable) dengan hasilnya. Walaupun mungkin bagi telinga Barat modern terdengar merupakan prospek yang naif tanpa ada harapan dan tidak mungkin, perlu untuk diingat bahwa masyarakat asli seperti penduduk Aborigin Australia dan Pribumi Amerika Utara telah menggunakan teknik-teknik pembuatan keputusan seperti itu selama berabad-abad, dan bagi warga dari masyarakat-masyarakat itu bentuk-bentuk pembuatan keputusan Barat konvensional tampaknya sama sekali tak tepat. Masyarakat-masyarakat asli (indigenous people) seperti itu telah mampu mempertahankan struktur-struktur masyarakat yang jauh lebih kuat, dan gaya hidup yang secara ekologi lebih sehat, dan kebijaksanaan pembuatan keputusan konsensustersebut merupakan suatu pelajaran yang dapat dipelajari oleh masyarakat-masyarakat yang disebut masyarakat-masyarakat maju dari mereka.
sumber: diterjemahkan dari Prinsip-prinsip pembangunan masyarakat (Jim Ife)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H