Lesbiola dan gayung bocor kian melegenda. Hubungan antar sesama jenis dipamerkan secara fulgar di berbagai kanal media sosial. Pernikahan sejenis kian trending. Bahkan pernikahan di luar nalar muncul kepermukaan: menikah dengan bayangan, mejikom, kucing kesayangan dan benda di luar kewarasan lainnya.
Hubungan terlarang antar saudara kandung menjadi tontonan. Orang tua menjadi preadator bagi anak kandung sendiri seolah tak asing lagi.
Penyiksaan dan pembunuhan keji menjadi bahan konten. Guru tak lagi dihargai, orangtua diabaikan. Sikap apatis kian melekat. Kepedulian antar sesama nyaris sirna. Gonta ganti agama seolah menjadi tren. Kawin cerai di usia muda dengan dalih sudah tak ada kecocokan lagi seolah menjadi menu harian. Pemeluk agama seolah terpisah dari agama yang mereka anut. Apa lagi?
Pertanyaannya: apakah semua ini terjadi tiba-tiba. Lantas diiringi dengan perdebatan, marah-marah serta saling tuding terhadap kondisi generasi yang kian tercabik?
Eit, tunggu dulu. Coba renungkan sejenak. Kilas balik ke masa lalu. Jepang, memilki kimono yang membalut tubuh wanitanya dengan anggun. Lihat peradaban Eropa di era kejayaannya: perempuannya mengenakan gaun panjang dan tertutup.
Bagaimana dengan Korea yang saat ini menjadi trenstter generasi muda? Di masa lalu, para perempuanya begitu terlindungi dengan pakaian tertutup rapat yang dikenal dengan hanbok. Timur tengah apalagi. Pakaian mereka sangat sopan dan tertutup. Para wanitanya? Hanya sapasang mata mereka yang terlihat. Begitu pun Indonesia dengan berbagai busana di masa silam yang begitu terjaga.
Kini, aurat diumbar seperti pakaian bekas yang diobral dengan harga murah oleh pedagang kaki lima.
Dulu, hubungan antar lelaki dan perempuan sangat terpelihara dan beradab. Tak seperti sekarang yang semakin lepas kendali.
.
.
.