"Ya Rabb, aku dizalimi..." Isak Lathifah mengiris hati. Pengaduannya melangit. Ia tersungkur di atas sajadah lusuh. Mata sembab, dada terasa sesak, tapi doa tak putus.
Setiap hari tenaganya terkuras. Bekerja di luar batas kewajaran. Azan subuh belum berkumandang, air sudah mendidih. Lantai rumah dua tingkat itu sudah harus mengilap sebelum mentari muncul. Tangan mungilnya mengangkat ember besar hingga terhuyung, guna menyirami tanaman taman rumah itu.
Langkah lncahnya senantiasa berpacu dengan senandung bel sekolah. Terlambat sudah menjadi kesehariannya. Mengantuk di kelas karena belenggu kelelahan. Tetapi tiada yang peduli.
Makan tak menentu. Terkadang hanya sekadar mengisi perut. Ibu kerap mengendap-endap mengantar makanan, takut ketahuan. Lathifah kerap menyantap makanan bak pencuri. Menelan dengan cepat tanpa sempat mengunyah sebanyak tiga puluh tiga kali seperti teori yang disampaikan gurunya.
Selepas SMA, di dipekerjakan sebagai penjaga toko bergajikan janji manis yang tak ditepati. Diperbudak, tanpa gaji, makan seadanya. Tak jarang, makanan hampir basi menjadi menu yang dijatahkan untuknya.
Tubuh kian kurus. Maag akut menyapa, bahkan tipus hampir merenggut jiwa. Saat jatuh sakit, ia selalu dipulangkan ke rumah orangtuanya. Ketika sembuh dijemput kembali.
Ia terus betahan. Menyimpan derita demi satu harapan: pendidikan yang akan mengantrakan pada masa depan gemilang. Bebas dari jerat kemiskinan. Hadiah terindah untuk orang tua tercinta dan adik-adiknya.
Hingga tak sebait duka pun yang diceritakan pada orang tuanya.
"Sedang diet." Begitu bualannya setiap kali ditanya kenapa ia terlalu kurus.
.