Ketidaknyamanan ini akhirnya sampai pada seorang sahabat. Ia memberikan respon mengejutkan.
"Ibumu kolot. Tak paham anak muda. Tak mengerti dunia anak muda." Ia berbicara berapi-api di tengah kelas. Sontak suasana kelas riuh. Mereka menyampaikan keprihatinannya atas kekolotan sang bunda.
Penulis terdiam melihat reaksi teman-teman yang diluar harapan ini. Mata berembun. Nurani menolak reaksi dan ungkapan negatif mereka terhadap ibu yang jasanya tiada ternilai kepada penulis dan adik-adik.
Sejak saat itu, penulis perlahan menarik diri dari pergaulan teman sebaya. Itu hari terakhir bercerita tentang keluarga pada mereka. Penulis pun cenderung akrab dengan orang-orang yang usianya lebih tua setelah momen tak mengenakkan itu terjadi.Â
Karena menurut penulis saat itu, mereka yang lebih dewasa bisa memberi nasihat yang lebih bijak. Bukan reaksi asal yang dapat melukai hati.
Namun, gelar kolot untuk ibu tak hanya disematkan oleh teman-teman sebaya. Emak-emak lain beranggapan sama. Saat penulis dan dua adik laki-laki lainnya tak mengantongi izin untuk pacaran.Â
Tak hanya itu saja. Ketika ada ajakan belajar di rumah teman, ibu memberi opsi lain.
"Belajar di rumah kita saja. Walau mungil tak apa-apa. Nanti ibu bikinin makanan enak."Begitu tawaran yang diberikan. Ini artinya, harapan untuk belajar ke rumah teman pupus seketika.
Mau tak mau, teman-teman memilih belajar di rumah penulis yang sangat sederhana. Saat itu, ibu memahami betul. Buah hati akan menjadi tempat bertanya teman-teman sekolahnya.
Begitu banyak hal serta cara mendidik dan membesarkan anak ala ibu, yang membuat beliau disebut kolot. Kuper, ndak gaul, otoriter hingga berbagai ujaran cemoohan lainnya mendarat.