"Bu, dia dapet surat cinta." Teriakan Adit membuat suasana kelas terdiam saat bel isarat istirahat terdengar.
Menit berikutnya, selembar kertas dilipat mendarat ditangan saya. Wajah pemilik surat pucat pasi. Selembar kertas yang katanya surat cinta itu saya baca tanpa ekspresi.
"Oke nak, minta waktu sebentar." Suara saya memecah kesunyian. Dengan isarat tangan, dua nama yang terlibat cinta lokasi di bangku kelas VI SD ini saya minta mengambil kursi dan duduk di samping meja guru.
"Apa yang membuatmu mencintainya?" Saya bertanya dengan ekspresi datar kepada siswa penulis surat cinta.
"Karena dia manis Bu." Jawabnya tertunduk malu.
"Tapi aku tak suka dia Bu. Dia kucel." Si penerima surat spontan berteriak.
"Eit ntar dulu. Main sambet aja. Tunggu giliranmu ditanya." Saya berupaya meredam kemarahan siswi berkulit putih ini dengan santai.
Tanpa mempedulikan warna-warni ekspresi siswa, saya mulai menulis struktur kepanitian pernikahan di papan tulis. Tak lupa meminta semua siswa berperan mengisi item pada susunan struktur itu dengan nama mereka masing-masing.
"Ibu mo ngapain?" Terdengar teriakan serak siswi penerima surat. Dia mulai terlihat gusar. Mata berkaca-kaca. Saya pura-pura tak melihat ekspresi kebingungan warga kelas.
Selembar kertas berisi item-item bekal pernikahan saya sodorkan pada pemilik surat cinta.