"Kau miskin. Hua ha ha ha..." Ejekan teman-teman saat di bangku sekolah dasar membuat telinga panas. Namun tak berdaya memberikan perlawanan. Deraian air mata tak dapat dibendung. Menghadapi ejekan yang tak kunjung reda dari lingkungan sekitar.
"Dia tak punya tv Bu. Mau dicolokin ke mana? Ke hidunganya?" Tak ayal lagi. Tawa warga kelas pecah.
Begitu ejekan berikutnya yang diterima pada waktu yang berbeda. Kala guru kelas memberi tugas menonton berita di televisi lalu mencatat inti sari berita tersebut.
Terlihat sebuah pandangan miris. Keterbatasan secara finansial membuat adik beradik ini menjadi bulan-bulanan teman-temannya.
Namun yang menarik, setiap kali pulang ke rumah, dengan wajah digelayuti mendung, ibu mereka selalu menyambut dengan ceria.Â
Beliau selalu hadir sebagai seorang sahabat yang memberikan hawa ketenangan untuk putra putrinya.
"Ah, mereka salah lihat itu. Kita ini kaya, bukan melarat atau miskin. Seseorang disebut miskin ketika mereka selalu menampungkan tangan pada orang lain. Seseorang disebut kaya, ketika mereka bisa berbagi dengan makhluk Allah yang lain. Baik itu berbagi pada manusia, maupun berbagi pada hewan sekalipun."
Begitu paparan si ibu ketika mendapat laporan dari putra putrinya terkait ejekan teman-teman mereka.
Ajaib memang, muatan energi positif yang dialirkan ibu muda itu kepada buah hatinya berdampak spektakuler. Seberat apapun duka yang didapat dari luar rumah oleh anak-anaknya, sesampai di rumah, semua duka disulap menjadi tawa bahagia oleh ibu muda tersebut.
Bahkan, suatu kali si ibu pernah berpesan. "Tak perlu membalas sakit hati dengan rasa sakit yang sama pada mereka. Jawab semua cacian mereka dengan prestasi. Buat mereka angkat topi dengan capaianmu."
Begitu yang ditekankan pada anak-anaknya. Si ibu ini juga terus membisikkan kekuatan di telinga anak-anaknya.