Tetiba si sulung berkata, "Ibu, aku ditanya lagi sama temenku, kok aku belum juga punya HP sendiri?"
Aku hanya tersenyum. Dia pun tak meminta jawaban. Rupanya dia sudah paham mengapa sampai detik ini HP belum kami berikan.
Di usianya yang kini menginjak angka dua belas, kami berusaha istiqomah mendampinginya. Walau setahun lebih sekolah dari rumah menggunakan media. Namun kami tak memberi HP pribadi begitu saja. Semua kendali media ada di tangan kami, orang tuanya.
Hingga jelang kelulusan pun kami tetap tak memberikan. Alhamdulillah dia tak bereaksi minta dibelikan. Kiranya cukup penjelasan yang kami ungkapkan.
Meski pada prakteknya jika ada HP pribadi akses belajar anak tentu menjadi lebih mudah. Namun bukan mengurai masalah jika kami lebih memilih untuk susah. Dan itulah salah satu alasan kami, untuk tidak memberi HP pada anak sejak usia dini.
Ya, sedari dulu kami memang tak mengizinkan anak untuk memiliki HP secara pribadi. Bukan kami tak menutup segala informasi. Tidak! Kami tetap mengenalkan sosok HP sebagai salah satu alat komunikasi. Sebatas menjelaskan saja, namun mereka tak kami izinkan memiliki sendiri.
Harapan kami ketika melihat sosok HP anak sudah tak perlu bertanya lagi. Pun tak penasaran lagi. Benda apa itu dan untuk apa dimiliki. Sebatas itu.
Seiring dengan kemajuan teknologi tentu anak menuai banyak pertanyaan. Apakah HP hanya untuk telpon atau WA saja?
Lalu bagaimana dengan sosial media yang bisa diakses dari layar HP? Ini menjadi konsekuensi kami untuk menjelaskan lebih dalam lagi. Tentu sesuai dengan tingkat usia dan penjelasan yang kami berikan pun tak sama.
Saat balita kami tak banyak bercerita karena di usia ini anak masih sebatas mengenal fisik dari tampilan luar yang menarik.Â
Pertanyaan mereka tentu masih sederhana, "ini apa"? Mereka belum paham untuk lebih menanyakan bagaimana dan untuk apa HP digunakan.