Bagiku, senja bagai pembatas masa. Pada senja bisa kuungkap rasa. Semburat jingga mampu berkata bahwa esok masih tersisa asa. Sebagai pijakan menyusun kisah yang tak sama. Kuharap kalian percaya.
Senja memiliki kekuatan hati. Dia hadir sekadar menyapa bukan menelan mimpi. Dia pun berjanji menggelar asa kembali kala terbit mentari. Hingga kutemukan rasa pada sudut senja saat kumenepi.
Ya, menepi sebelum bermimpi. Ketika waktu luang menyapa, senja berhasil menemuiku pada serangkai kata. Raga yang mulai meletak lelah. Kucoba hentikan sejenak sebelum mata terasa lengah. Hingga kutemukan larik-larik kata. Di antara serpihan rasa yang bersandar pada sudut senja.
Rasa yang kerap menuntun rangkaian kata menjadi sebuah karya. Dengan rasa apa yang ada di alam pikir pun bisa terbuka. Lalu tertuang pada gerakan tangan, berujung pena layangkan senyuman. Yang hantarkan pada serangkai pesan. Sebagai pengingat diri? Tentu saja.
Aku suka pengingat diri. Agar aku selalu ingat dengan yang memiliki diri. Kata orang, agar tak lupa maka tulislah pada lembar memori.
Dan mengapa harus senja? Ya, karena aku merasa pada sudut senja kutemukan rasa. Dengan rasa kataku bicara. Senjalah yang menuntun penaku bagaimana mengolah rasa menjadi sebuah karya. Hingga titik yang tak terukur masa. Itulah caraku.
Sekali lagi, aku hanya seorang emak biasa yang mencoba untuk bisa, mengolah rasa menjadi sebuah karya. Kalian tentu lebih bisa. Dan aku sangat percaya.
Niek~
Jogjakarta, 3 Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H