Jujur, saya malu. Di usia beliau yang tak lagi muda, namun jiwa muda seakan terselip dalam setiap ayunan pena yang digulirkannya.
Ketika berkaca pada diri saya, yang usia masih separuh dari beliau berdua, nyatanya semangat kalah jauh. Terpelanting oleh rasa lelah dan kerap mengeluh. Duh.
Ya, beliau memang berusia senja namun begitu tangguh dalam berkarya. Setiap hari tak pernah surut mengayun pena. Sudah banyak goresan beliau bagi di kolom Kompasiana. Memiliki semangat literasi yang cukup luar biasa. Menjadi catatan tersendiri di usia yang bukan lagi disebut sebagai remaja.
Adalah Pak Tjipta. Beliau dan istri, Ibu Rose, kerap hadir di kolom komentar para Kompasianer muda. Tak segan menyapa, memberi apresiasi dan semangat berliterasi. Membagi tulisan yang begitu menginspirasi.
Mulai dari kisah sehari-hari, perjalanan cinta, hingga fakta-fakta kehidupan menurut kacamata beliau sebagai seorang yang sudah banyak makan garam serta mengenyam suka duka dunia.
Awalnya saya tak menyangka usia senja telah tersandang di pundak beliau berdua. Cara pandang beliau masih cukup tajam. Serta mampu berkarya setiap harinya. Tak seperti usia yang saya duga, senja.
Pernah satu ketika beliau bertanya kepada saya melalui kolom komentar di salah satu tulisan saya,
"Kenapa sudah jarang menulis?"
Belakangan saya akui memang tak sempat menulis. Satu hari rasanya begitu cepat habis. Tersebab harus membagi dengan anak-anak yang belajar daring. Malu, ya saya sungguh merasakan malu. Hanya karena alasan anak-anak, nyatanya saya tak bisa membagi waktu.
Sedang beliau berdua, mungkin saja lebih sedikit memiliki waktu senggang, namun mampu menyisihkan untuk sekadar bertandang. Alunan kata dan yang pasti semangat berbagi pada sesama beliau pegang. Tertuang dalam setiap karya yang ditulisnya. Hampir setiap hari tak berjeda.
Sedangkan saya, usia belum senja namun tak sanggup menghadapi ketangguhan. Saya sungguh terkesan, beliau memiliki konsistensi yang bisa diandalkan.