Siang itu aku mengantarmu. Meski lilitan ragu belum pergi dari ingatku. Hingga mataku tak henti menatap dinding sepi.
Aku tau. Beberapa batang kapur tulis pun sederet meja menanti. Sebuah bangku menunggu, menopangmu seperti dulu. Mereka mencoba membaca cara meski kau belum banyak bicara.
Matamu berkaca. Saat seseorang menyapa. Rupanya selayang rindu kau tuju. Gurumu. Kau pun mulai bertanya, "Kapan aku boleh menghampirinya?"
Belum tau.
Pagar keraguan masih membatasi dinding keyakinan. Nyatanya, keadaan belum memungkinkan. Kau tak meyakinkan tuk mengurai sebuah kebersamaan, dengan teman-teman.
Di depan pintu, aku melepasmu. Mata tak henti kutuju pada sekeliling di dekatku. Ramai. Santai. Rasanya aku ingin mengajakmu pulang.
Virus itu belum jua hilang. Tanggap darurat diperpanjang. Yakin menerjang? Tidak! Resiko siapa yang kan menanggung kemudian.
Lalu bagaimana sekarang? Rupanya, harus ambil keputusan. Hingga satu masa mengijinkan. Aku pun membawamu pulang.
Kau pasti gundah. Apa daya masa masih mengulur resah. Pulanglah. Raih apa yang kau bisa, dari rumah. Demi kebaikan bersama, jagalah!
Untuk kita? Tentu tidak! Tak hanya kita namun juga mereka. Kau menatapku hingga tak berucap kata. Kau faham namun alam pikirmu masih sulit menerima.
Aku tau keadaan ini tak bisa begitu saja diterima. Terlebih usia yang belum mampu meraihnya. Percayalah. Aku bicara fakta. Jangan kau paling dari realita. Tanggap darurat bukan hal biasa. Kita masih harus di rumah saja.
Menabung asa pada kantung masa. Hingga batas yang belum tau rimbanya. Yakinlah kau kan menuai hasil dari apa yang kau simpan. Relakan demi kebaikan. Meski buah yang kau petik kelak berupa setitik kenangan. Itu jauh lebih baik daripada selembar penyesalan.