Mentari tersenyum menatap bola mata. Bidiknya membuatku tak beranjak dari ruang teduh tempat kubersandar, menunggumu. Kau tak jemu memandang crayon warna biru. Kau ambil satu lalu kau goreskan pada lembar dihadapmu. Sesekali kau melihatku, lalu tersenyum.
"Ibu di situ ya."
"Siap!"
Kau bahkan tak mau aku mendekat. Walau jarakku bisa saja kuatur lebih dekat. Namun kau memberi tanda bahwa kau bisa tanpa aku ada. Kau palingkan perlahan tatapmu pada sebilah papan kayu. Tempat di mana lembar kau goreskan dengan crayon warna biru.
Perlahan ayunan tanganmu berbicara. Kau begitu percaya. Tak ada ragu pada apa yang kan kau baca. Meski yang tertata hanya satu, crayon warna biru.
Rupanya kau justru semakin asyik dengan apa yang ada dihadapmu. Sesekali kau memandangku. Sekejap kemudian menatap kembali pada lembar penuh dengan crayon warna biru.
"Bagus kan Bu?" teriakmu padaku.
"Tentu."
Mataku berbinar melihat karyamu. Senyummu sentuh rasaku saat itu. Meski kutau yang kau tuang hanyalah crayon warna biru, kesukaanmu.
Namun gurat wajahmu tak kubaca gelisah. Kulihat kau begitu menikmati tanpa gundah. Sesekali senyum kau urai dalam balutan wajah. Kau sungguh bahagia walau seluruh badan lembar di hadapmu penuh dengan crayon warna biru.
"Sudah Bu."
"Wah cepat sekali!"
"Sudah penuh, makanya aku berhenti."
"Hebat."
Kau berlari kecil menghampiriku. Kepeluk tubuh mungilmu. Kukatakan sekali lagi padamu.
"Kau hebat Nak."
Lalu kau duduk di sampingku. Sembari menikmati kue buatanku.
"Ini hadiahnya kan Bu."
Aku mengangguk tanda setuju.
"Enak."
Kau nikmati kue buatanku. Kau hampir tak peduli apa yang terjadi di sekelilingmu. Saat petugas memanggilmu, kau pun menghampiri dan menyerahkan lembar penuh crayon warna biru.
Kau begitu bahagia. Saat bisa menyelesaikan tugasmu. Dan menikmati kue buatanku. Wajah lugu yang terlukis. Pun senyuman nan cukup manis. Membuatku tak kuasa menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi di hadapan.
Satu per satu anak sebayamu naik ke atas panggung kehormatan. Namun kau masih saja asyik menikmati kue sembari bercengkerama dengan sejumlah mainan.
Aku melirik lekat namun kau masih saja tak melihat. Matamu terus menatap mainan dihadapmu. Kaupun terlampau menikmati kue buatanku. Dan hampir tak peduli lagi dengan nasib goresan crayon warna biru. Rupanya kue buatan ibu telah berhasil mencuri hatimu.
Niek~
Jogjakarta, 4 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H