Sesak, mata pun terhenyak. Kabut asap tak kunjung lenyap. Dari balik tirai kaca terurai tangis. Melihat derai yang begitu mengiris. Sungguh miris. Kemarau masih saja merajai. Asap pun tak kuasa menepi.
"Hai sang biru! Kemanakah kau bersembunyi? Masihkah enggan singgah ke peraduan kami?" teriakan itu kerap menghantui. Jendela hati kian rindu tatapan sang penjaga hari.
Namun rupanya sang biru masih membisu. Menyaksikan huru hara yang membuat pilu. Para penguasa, bilamana tersisa asa meski hanya sebatas mimpi semu?
Siang terasa penat. Hingga kibasan cahaya tak sanggup menyentuh pelataran nan begitu gelap. Teras pekat bergerumul asap. Jarak pandang menjauhi dekat. Bagaimana bisa tersentuh kata sehat?
Tangan mungil kehilangan kisah manis. Udara tercemar dengan begitu tragis. Arena bermain terbelenggu pusaran debu. Pilu, namun hanya harap yang terenggut sembilu.
Hingga korban berjatuhan. Di pemukiman, pun tengah hutan. Namun sang pemegang kekuatan seakan masih enggan lakukan tindakan. Entahlah. Barangkali ini hiasan jaman.
Dimanakah sang biru yang kerap memayungi hari? Apakah tlah lupa sejak terbit hingga terbenam mentari? Seolah belum jua menghampiri bumi. Atau bahkan tak kuasa diri sebab asap terlampau tebal menyelimuti.
Anak anak sungai kian rindu kehadiran sang biru. Mereka merintih mengemasi dedaunan yang terjatuh dari ruas batang. Tangis hutan kian menyisakan kepiluan. Ratapan hewan hewan menambah derita nan berbalut kepedihan.
Rindu sang biru. Di tengah pusaran debu. Sampai kapan kan terdengar rintihan sendu? Rasanya tak sanggup hati. Apa daya menolong pun tak kuasa diri. Hanya doa terlantun pada sang pemilik hati.Â
Semoga derita saudara segera diakhiri. Berharap tersapu rinai embun menyapa relung bumi. Hingga sang biru hadir memeluk serambi mimpi. Nyata hadir hujan di sudut pelataran. Semoga doa segera dikabulkan. Aamiin.
Niek~
Jogjakarta, 27 September 2019