Kulihat raut gelisah tersembunyi di wajah. Saat kusapa sesosok nan lugu bersembunyi di balik pintu, lalu dia mengadu padaku.
"Besok aku ada tugas mendongeng dan maju di depan kelas, Bu," gerutunya.
"Lalu apa yang kau risaukan, Nak?" tanyaku kemudian.
"Aku takut tak bisa melakukannya dengan baik lalu ditertawakan teman-teman. Aku malu," ungkapnya kemudian.
Rupanya rasa gundah melanda, jikalau tak mendapati hasil yang tak semestinya. Apa gerangan yang membuatnya bersikap demikian? "Sempurna"! Barangkali itu penyebabnya. Ya, hasil yang sempurna kerap menjadi hal utama. Memunculkan kegelisahan jikalau tak mencapai sebuah kesempurnaan.
"Mengapa kau takut salah? Tak bagus tak masalah. Yang penting kan kau sudah maksimal berusaha. Tenanglah hasil akhir tak harus sempurna," aku mencoba membendung kekhawatirannya.
Dia terdiam. Memikirkan kalimat terakhir yang kuucap barusan. "Hasil akhir tak harus sempurna". Betul. Kiranya kata sempurna yang membuat resah jiwa. Membentang kebimbangan raga. Kerap kita dibuat tak nyaman dengan kata sempurna yang begitu diidamkan.
Padahal jika menilik pada kehidupan pun tak ada yang sempurna bukan? Lalu mengapa kita mempersulit diri untuk mencapai sebuah kesempurnaan? Tak mungkin dicapai apalagi terlampau dipaksakan.
"Nak, kesempurnaan tak mungkin kau dapat. Sebab hanya Dia yang bisa mendapat. Berusahalah semampumu dan sebisamu. Singkirkan resah, lipat gelisah, dan buang gundah. Di dunia ini tak mungkin ada yang bisa sempurna. Termasuk juga kita. Yang penting maksimalkan usaha, sudah cukup kiranya," kataku kemudian.
Usaha! Ya, dengan usaha yang maksimal kita bisa mencapai sebuah titik dimana hati menemukan arti sempurna, walau tak kasat mata dan hanya bisa dirasa. Meski tak harus diri mencapainya.