Di perdesaan, mungkin tak banyak euforia awal tahun baru. Ketimpangan yang nyata antara desa-kota selama ini, terkait akses informasi dan akses infrastruktur yang ada, membuat budaya pop tak begitu menemukan tempatnya terkecuali desa-desa yang memiliki akses langsung dengan kabupaten/kota.
Namun, suasana sujud syukur perangkat desa yang telah mengawal selama tujuh tahun pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Desa ini menjadi luapan kegembiraan yang mungkin lebih mahal harganya ketimbang menyambut tahun baru begitu saja.
Sebab, UU Desa menjadi penting dan sekaligus momentum kembali ke “khittah” desa –dan nama lain yang sejenis sebagai institusi mandiri untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui kemandirian dan juga mengenali kembali konteks kesejahteraan dalam sistem penghidupan pedesaan.
Pada masa ke masa,desa menjadi lembaga “governan” yang otonom dan menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Struktur pemerintahan desa, lengkap dengan berbagai komponen pembantu Kepala Desa (bahasa sekarang; perangkat desa) menjalani pola hubungan simetrikal yang mutualis selama berabad-abad.
Momentum Gerakan
Saat ini, walaupun UU Desa menjadi sebuah momentum penting sejak disahkannya pada tanggal 18 Desember 2013 dan segera berlaku di tahun 2014 ini, akan tetapi berbagai pemikiran inovatif dalam rangka pembangunan desa sudah lama digagas oleh sektor ketiga yaitu universitas (baik dari pihak peneliti dan pengajar universitasnya maupun dari pihak mahasiswa-mahasiswanya melalui berbagai organisasi), berbagai komunitas, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat sipil yang sejak lama berjuang demi kemandirian dan peningkatan taraf hidup masyarakat perdesaan.
Gerakan-gerakan baik dari akademisi seperti sosiologi nafkah (livelihood sociology) “Mazhab Bogor” (Darmawan, 2013) untuk pembangunan masyarakat perdesaan maupun gerakan masyarakat sipil lainnya seperti Gerakan Desa Membangun (GDM) yang mengedepankan isu tata kelola pemerintahan desa yang baik, pengelolaan desa berbasis teknologi informasi untuk efektivitas dan efisiensi pelayanan pembangunan. Domain desa.id menjadi salah satu capaian dari sisi kelembagaan dan pemerintahan.
Festival Jawa-Kidul dan kisah Kepala Desa 2.0 dengan program-program “DemIT” Desa Melek IT menjadi catatan sejarah yang tak terlupakan dalam “modernisasi” desa. Hal ini selain tuntutan perkembangan pelayanan, juga diamanatkan oleh UU Desa dalam hal “sistem informasi desa” yang mampu menjawab permasalahan perdesaan dari sisi penunjang infrastruktur teknologi.
Momentum UU Desa di akhir tahun 2013 ini menjadi titik balik yang paling signifikan untuk mengkaji relasi antara negara kesejahteraan dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang “Agraris” dan “Aquaculture”.Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat dan melaksanakan bagian-bagian dari urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh pemerintah kabupaten/kota. Dalam praktiknya, kewenangan ini disertai dengan pembiayaan yaitu penghasilan tetap setiap bulannya disertai tunjangan bagi Kepala desa dan perangkat desa melalui dana APBDesa yang bersumber dari APBD Kabupaten/Kota.
Kritis
Namun, kita juga perlu kritis, apakah UU Desa ini nantinya bisa berfungsi sebagaimana mestinya, dan dalam pelaksanaannya perlu dikawal, dievaluasi dan diberi masukan untuk perbaikan kedepan. UU ini memang 'kritis' untuk segara dilaksanakan, tapi juga semua pihak harus 'kritis' dalam pelaksanaannya.
Selain perlunya Peraturan Pemerintah (PP) dalam pelaksanaannya untuk sekitar 18-19 Pasal pada UU Desa ini, perangkat desa termasuk Kepala Desa juga memerlukan pemberdayaan (empowering) melalui berbagai pelatihan. Terutama dalam hal keuangan karena dana alokasi desa yang tersedia sebesar 42 trilyun dari 10% dana “on top” dari APBN (sesuai pasal 72) yang jika dibagi rata kepada 72.000 desa yang ada, maka mendapatkan sekitar 600 juta rupiah per-desa. Jumlah yang diharapkan cukup untuk gaji perangkat desa dan meningkatkan profesionalisme pelayanan hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat desa bersangkutan melalui berbagai program-program kerja desa.
Nuansa Teori “Pemilu 2014” sebagai ajang pencitraan bagi para politisi di parlemen membawa unsur politik dalam pendapat berbagai elemen masyarakat tentang UU Desa ini tidak dapat dinafikan, namun dikelola dalam kerangka pikir yang “positive thinking”. Belum lagi secara kultural, ada juga kritisi yang didasari kepada isu heritage seperti lembaga adat, ketidakseragaman model pemerintahan terendah (sebab di sumatera disebut nagari, gampong, dusun dan sejenisnya) misalnya yang dilakukan oleh LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau).
Terlepas dari itu, UU sudah disahkan. Desa siap menerima bantuan finansial untuk percepatan pembangunan desa yang mandiri, harus siap melakukan tata kelola pemerintahan yang akuntabel dan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mulai dari domain desa.id, e-demokrasi melalui e-voting, otomasi pelayanan birokrasi, pemerintahan yang terbuka (open & transparent) yang dapat aksesibel dan partisipatif oleh semua stakeholder perdesaan dan sejenisnya dan siap menyediakan SDM sebagai prasyarat governing capacity agar mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik..
Selamat Tahun baru 2014 untuk Desa dan kado UU Desanya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H