Digosok-gosok tiga kali, Lampu Aladin mengeluarkan Jin. Jin tersebut kemudian memberikan tiga kesempatan permintaan untuk dikabulkan.
Begitu cerita Aladin dan Lampu Wasiat yang tentunya semua orang tahu. Waktu kecil, saya bertanya-tanya, mengapa ceret air itu disebut lampu? Bukankah tidak ada listriknya?Â
Belakangan setelah dewasa, saya baru mengetahui, seharusnya lampu Aladin memang lampu "teplok" atau "tempel" kalau bahasa daerah saya di Sumatera, dengan sumbu api dan minyak di dalamnya. Penerangan yang lazim pada jaman itu.
Tapi ada yang tetap bertahan di memori masa kecil saya, bahwa lampu aladin memang tidak pernah menyala. Dan cahaya-cahaya sejenis pada penggambaran perumahan kumuh di "Kisah 1001 Malam" memang terang benderang ketika bersama puteri Jasmin, Aladin mengelilingi kota, namun temaramnya cahaya dari lampu teplok tersebut akan pudar dan menghilang pada saat semua penduduk terlelap.
Pesan Hemat Energi
Lampu di masa Aladin menggunakan bahan bakar minyak. Â Bahan bakar minyak pada lampu tersebut dipakai se-efisien mungkin, dan dimatikan ketika aktivitas berhenti. Â Kita-pun sudah sering mendengar imbauan untuk menghemat penggunaan listrik dengan cara sederhana. Misalnya mematikan lampu ketika tidak digunakan, mengganti bohlam yang rendah konsumsi energi.
Banyak yang sudah meyakini kalau langkah ini menghemat energi, dan dengan demikian menyelamatkan lingkungan. Paling tidak ada tiga hal yang dapat kita capai dengan melakukan penghematan energi di rumah melalui hemat listrik, mematikan lampu. Mulai dari kesehatan, keuangan, dan lingkungan.Â
Agar lebih mudah dan apple to apple kita coba dari satu hal saja di rumah. Kita bicarakan saja lampu. Karena saya terinspirasi dari kisah Aladin dan Lampu Ajaibnya. Juga karpet terbangnya sih.