Tulisan ini tak hendak menghakimi ataupun membela, namun memberikan masukan bagaimana kita mencerna beragam peristiwa yang di masa kini berseliweran di lini waktu (timeline) media sosial berbasis Internet yang terpapar di akun sosmed kita.Â
Contoh, adalah kasus Dandhy Laksono (DDL) yang belakangan ini mencuat dikarenakan adanya tuntutan dari pihak kepolisian bahwa DDL melanggar Pasal 45 A ayat 2 jo 28 ayat 2 UU ITE yang berbunyi " Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)". Â Hal ini menurut Polisi terkait cuitan DDL pada akun twitternya mengenai kondisi Papua pada 23 September.Â
Adapun persoalan ini masih perdebatan, karena DDL sudah dibebaskan dari tahanan namun demikian berstatus tersangka. Kuasa hukum dan beberapa organisasi masyarakat sipil menolak "kriminalisasi aktivis" dengan alasan tidak relevannya pengenaan pidana atas tuitan DDL. Â Kasus ini masih bergulir hingga hari ini.
Tulisan ini hendak mengajak kita berpikir kronologis/diakronis dalam melihat tuitan tersebut. Adapun kata kronologis berasal dari kronos dan logis, dan diakronis dari kata dia dan kronos. Kronos (chronos) artinya "perjalanan waktu". Dia artinya "melintasi". Logis artinya masuk akal/logika. Dalam konteks twitter, selain kronologis dan diakronis, dia tak lepas dari ruang dan waktu saat twiiter tersebut dipost. Tanggal dan jam, perlu melihat pada kejadian apa pada hari itu.
Dari penelusuran twiiter, sebelum adanya twit yang dipermasalahkan, terdapat 10 retweet dan quote tweet yang dilakukan DDL terhadap peristiwa di Jayapura dan Wamena selama 5 Jam terakhir. Hal ini dapat kita simpulkan adanya informasi yang dia terima tentang kondisi, baru kemudian dia "tergugah" melakukan 5 twit pada siang hari yang dipermasalahkan. Â
Secara umum, tulisan twit DDL seakan memberikan penegasan, penstrukturan informasi simpang siur yang dia terima di timelinennya. Kemudian terjadi kesimpulan dan kemudian twit tersebut. Terdapat pula link berita yang bisa dicek kebenarannya. Dengan demikian, dengan "simpulan" dari yang bersangkutan.
Disini peran literasi peristiwa, selain literasi digital. Â Sudahkah kita melihat dan berpikir secara kronologis, diakronis dan juga mengecek situasi kondisi pada saat hari ketika twit yang bermasalah tersebut dilontarkan di ruang publik? Â Atau, kita memang merasa ada yang salah dalam cuitan tersebut, yang sudah dirituit dan diamini oleh banyak netizen, karena ada sumber "dalil"nya yang kita anggap tidak faktual.
Nah setelah itu, baru kita bisa melihat dengan jernih persoalannya. Bisa jadi, DDL memang sudah membuat "gerah" sehingga menjadi "target", apalagi setelah DDL viral dalam hal debat terbuka soal dukungannya ke referendum papua. Ihwal DDL salah atau tidak, bisa dibuktikan kemudian dipengadilan dengan ahli bahasa, atau, kalau bagi saya, tidak usah dilanjutkan apabila ternyata dapat disimpulkan cuitan ini hanyalah sekadar berbalas ekspresi semata di media sosial yang tak memenuhi unsur "permusuhan dan kebencian" dalam tuitannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H