Kesenjangan digital (digital divide, digital gap)Â atau sering dipertukarkan pula dengan istilah kesenjangan teknologi merupakan kesenjangan ekonomi dan sosial terkait akses, penggunaan, atau dampak teknologi informasi dan komunikasi (TIK). [1] Kesenjangan ini dapat mengacu kepada kesenjangan antar individu, rumah tangga, bisnis, atau wilayah geografis, biasanya dengan tingkat sosial-ekonomi yang berbeda atau kategori demografi lain.Â
Fenomena ini terjadi pada kondisi dimana hubungan antara TIK dan kelompok-kelompok individu, dibentuk dalam pengaturan yang kompleks dari masalah sosial, lingkungan, politik, dan ekonomi.Â
OECD mendefinisikannya sebagai "kesenjangan antara individu, rumah tangga, bisnis dan area geografis pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda sehubungan dengan peluang mereka untuk mengakses teknologi informasi dan komunikasi dan penggunaan Internet mereka".Â
Dalam hal ini, kesenjangan dalam pandangan dikotomis adalah "gap" antara "yang kaya" (the have) dan "yang tidak kaya" di mana "kaya" berarti memiliki akses ke komputer dan internet dan "dibandingkan yang tidak (the have-not) (Gil-Garcia, Ferro & Helbig, 2011; lihat juga Webster, 1995; Howland, 1998), juga untuk istilah "kaya informasi" dan "miskin informasi" (Black, 1986; Doctor, 1991).
Dalam diskursus mengenai kesenjangan digital, penelitian kesenjangan digital sebagian besar memperhatikan akses seseorang ke komputer, jaringan, internet dan teknologi lainnya (Van Dick, 2006).Â
Pendekatan lain menggunakan makroview ketimpangan ruang. yaitu ketidaksetaraan antara negara berkembang dan negara maju, negara berkembang atau antar daerah di negara terkait infrastruktur TIK dan sumber daya manusia TIK (keterampilan TIK).Â
Di Indonesia, menurut keterangan terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) penggunaan internet saat ini sudah mencapai 50% dari total penduduk Indonesia. Penetrasi ponsel pintar seiring dengan penetrasi operator jaringan selular yang memberikan layanan tak hanya telepon namun juga konektivitas internet di seluruh area Indonesia memperkecil  "blankspot" dan membuat setiap tempat di pelosok negeri mulai "menikmati" layanan internet.Â
Menggunakan ponsel sebagai media, dalam satu hari, warganet Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 4 hingga 7 jam bahkan lebih dari 7 jam sehari dikarenakan akses internet yang sudah berada dalam genggaman melalui internet dan media sosial di ponsel pintar.
Berdasarkan kesenjangan infrastruktur yang ada, maka upaya pembangunan infrastruktur TIK melalui Palapa Ring hingga ke kawasan timur Indonesia (KTI) dilakukan dengan skema kerjasama Public Private Partnership (PPP). Dikutip dari Antara News, Sekretaris Jenderal International Telecommunication Union (ITU) Houlin Zhao memuji pendekatan yang dilakukan Indonesia [2].
Hanya saja, masalah bukan mengenai infrastruktur saja, karena selain kesenjangan infrastruktur, kesenjangan digital yang terjadi adalah perbedaan bagaimana menggunakan internet dengan baik (safety internet). Penggunaan internet yang dapat menunjang diseminasi ilmu pengetahuan, kreativitas dan selanjutnya menjadi alat pengungkit perekonomian dengan memanfaatkan kemudahan internet yang tanpa batas.Hal ini juga menjadi kesenjangan antara desa-kota dan kawasan timur dan barat Indonesia, utamanya "Jawa dan Luar Jawa".Â
Statistik menunjukkan, grafik data pengguna Internet yang diterbikan oleh We Are Social tahun 2018 masih menyoroti kesenjangan antara mayoritas pengguna internet sejumah 72,41% adalah kalangan masyarakat urban. Dapat ditebak pemanfaatan antara urban (perkotaan) dan rural (perdesaan) pun berbeda jauh.