Akhir tahun 2018 ini, telah tercatat banyak sekali pelanggaran hak digital, terutama pasal karet UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana direvisi UU No 19 Tahun 2016 yang masih tetap tidak berbeda jauh dari substansi yang dikritik oleh masyarakat, yaitu pasal-pasal karet (Pasal 27 dan 28) yang membuat warga masyarakat (baca : netizen) menjadi takut dalam beropini dan berekspresi menggunakan media sosial.
Sebagaimana yang dilansir dari laman resmi SAFEnet (South East Asia Freedom of Expression Network) yang bermarkas di Bali, Indonesia, jejaring kebebasan berekspresi di Asia Tenggara ini baru saja merilis laporan data jumlah kasus yang melibatkan netizen khususnya jurnalis dan media (daring).Â
Menurut informasi, laporan ini merupakan pelengkap dari situasi kebebasan pers di Indonesia dalam zaman digital, berisi komposisi media, pelanggaran hak atas akses informasi berupa blokir/filtering konten, penangkapan jurnalis dan pemidanaan media dengan UU ITE, hingga ancaman keamanan digital pada jurnalis berupa doxing dan tindakan persekusi.
Dalam pemantauan SAFEnet sejak 2008 sampai Desember 2018 terjadi 16 kasus hukum, dalam upaya memidana 14 jurnalis dan 7 media dengan pasal karet UU ITE, dengan rincian sebagai berikut:
- Pada 2013 terjadi 2 kasus pada jurnalis,
- Pada 2015 terjadi 2 kasus terhadap jurnalis dan media tempatnya bekerja sekaligus,
- Pada 2016 terjadi 6 kasus terhadap jurnalis,
- Pada 2017 terjadi 3 kasus terhadap 2 jurnalis dan 1 media,
- Pada 2018 terjadi 8 kasus terhadap 3 jurnalis dan 5 media.
Dengan dalih sebagai payung hukum, nyatanya hanya 3 (19% persen) kasus dari 16 kasus yang dicatat sebagai pelaporan, yang diadukan oleh orang "awam". Sisanya, Â 8 kasus (50%) diadukan oleh kalangan profesi, 4 kasus (25%) diadukan oleh kalangan pejabat publik, dan 1 kasus (6%) diadukan oleh kalangan berpunya (pengusaha).
Media di Indonesia sendiri merupakan media massa terbanyak di dunia, dimana terdapat 47.000 media massa yang terbagi media cetak, radio, televisi dan elektronik berbasis daring (online).Â
Lalu, kerentanan untuk dilaporkan ini pun terjadi di media apa saja, termasuk media sosial dimana kita semua hampir 24 jam berada disana, melalui gawai kita. Menulis di Kompasiana pun rentan untuk dilaporkan oleh pejabat publik, pengusaha, dan kalangan profesi yang merasa "dirugikan" dan tercemar nama baiknya.Â
Bahkan, artis yang sudah sedemikian populer pun ikut-ikutan melaporkan netizen yang sebenarnya sudah cukup dengan melakukan klarifikasi publik tanpa "berlebihan" untuk "menghukum" pengomentar status maupun foto, misalnya menghapus postingan yang bermasalah, meminta maaf dan selanjutnya.
Bagaimana kita menyikapi ini? Pangkalnya adalah pasal karet UU ITE tersebut. Pasal karet ini menjadi "tren" untuk tiap orang merasa berhak mempidanakan orang lain dan menghilangkan warisan leluhur bangsa besar ini, yaitu saling maaf-memaafkan, tenggang rasa, dan ber-bhinneka tunggal ika. Apalagi, sebagaimana laporan SAFEnet, jurnalis dan media yang merupakan pilar demokrasi berusaha untuk dikebiri hak-hak digitalnya.
Berdasarkan pemantauan SAFEnet, tren ini sudah dimulai dari tahun 2013 dan menunjukkan sekarang lebih banyak jurnalis dan media diserang menggunakan Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat 2 tentang penyebaran kebencian dari UU ITE. Dua pasal ini yang kerap digunakan untuk membungkam pers dan kebebasan berekspresi digital yaitu :
- Pasal 27 ayat 3: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan / atau mentransmisikan dan / atau menyebabkan agar dapat diakses Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik dengan isi penghinaan dan / atau pencemaran nama baik.
- Pasal 28 ayat 2: Setiap Orang yang secara sadar dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau perselisihan pada individu dan / atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan kelompok etnis, agama, ras, dan antar-kelompok (SARA).
Bagaimana kita menyikapinya?Â