Mohon tunggu...
Unggul Sagena
Unggul Sagena Mohon Tunggu... Konsultan - blogger | educator | traveler | reviewer |

Asia Pacific Region Internet Governance Forum Fellow 2021. Pengulas Produk Berdasarkan Pengalaman. Pegiat Literasi Digital dan Penyuka Jalan-Jalan.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Setelah Tiktok Resmi "Tektokan", Apa Dampaknya?

20 September 2018   15:37 Diperbarui: 22 September 2018   01:26 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehebohan Tiktok sebagai aplikasi video singkat yang diblokir  Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) yang memiliki otoritas memang sudah berbulan lalu. Aplikasi ini merupakan aplikasi yang diluncurkan di Indonesia pada September 2017 dan langsung meraup dolar dari 15 detik video kreatif yang dibuat pengguna, alias platform yang kontennya merupakan "user generated content."

Soal konten inilah yang kemudian membawa pemblokiran.  Disatu sisi, dengan cara kerja simpel, dan mudah dilakukan oleh nyubi apalagi milenials yang gampang beradaptasi ini, pengguna merekam video berdurasi 15 detik dan menghiasinya dengan berbagai musik, filter, atau efek. Tiktok sendiri menyebut beragam hal tersebut sebagai fitur penting "Artificial Intelligence" atau AI yang mereka punya. Fitur yang saat ini lagi ngehits karena mampu mendeteksi audio visual dan membuat penyesuaian terkait.

Ihwal pemblokiran, menurut keterangan Kominfo dari Dirjen Aplikasi Informatika, Semuel Pangerapan sebagaimana dikutip beberapa media adalah adanya konten bermasalah. Yaitu konten-konten "Pornografi, pelecehan agama, banyak sekali pelanggarannya," seperti dilansir kepada BBC Indonesia, 3 Juli 2018.

Drama pemblokiran sudah selesai. Hal ini kurang lebih, upaya agar ByteDance Inc, perusahaan raksasa Tiongkok yang memiliki Tiktok (di Tiongkok dikenal dengan nama Douyin), sekaligus juga jadi induk usaha Musical.ly ini memberikan perhatian khusus. 

Sebagai aplikasi yang menurut lembaga survey digital sepertiSensorTower, diunduh dari App Store di seluruh dunia, dan aplikasi paling banyak diunduh nomor 7 di seluruh dunia sepanjang kuartal pertama 2018, hampir satu milyar pengunduh aplikasi ini. Jangan tanya ketika saat diblokir, justru pengunduh meningkat 3x lipatnya, sebab aplikasi ini masih bisa diunduh kendati konten tidak tertampil pada masa blokir.

Cubitan Kominfo memang mengena. ByteDance kemudian cepat tanggap. Terbukti dengan datangnya petinggi ByteDance ke Indonesia, dan kemudian mendengarkan keluh-kesah dari Indonesia menyoal banyaknya anak-anak yang memproduksi konten negatif ini. Selain Kominfo, lembaga, jejaring dan komunitas terkait anak dan literasi digital seperti SIBERKREASI, End Child Prostitution Anda Trafficking (ECPAT) Indonesia, ICT Watch, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Sejiwa, IDCOP (Indonesia Child Online Protection), RTIK(Relawan TIK Indonesia) juga Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menjadi pihak yang berkomunikasi soal solusi.

Ternyata, Tiktok sendiri memang aplikasi kreatif yang jika digunakan dengan benar, akan baik. Bytedance menunjukkan konten yang dibuat guna mempromosikan pariwisata di berbagai belahan dunia, utamanya Tiongkok. Tak hanya itu, kerjasama "kampanye" #anakjenius digelar untuk produksi konten positif. 

Bahkan, konten-konten menarik seperti video singkat soal ke-Indonesiaan, kebangsaan, budaya dan pariwisata dilakukan dalam bulan-bulan terakhir.

Hasil "tektokan" Tiktok dengan berbagai lembaga di Indonesia, khususnya Kominfo sebagai otoritas ini membuahkan beberapa kesepakatan berupa kebijakan untuk membuat aturan main melalui "community guidelines" yang lebih jelas dalam menggunakan aplikasi ini, hingga secara resmi membuat MoU (Memorandum of Understanding).

Tiktok juga membuka kesempatan dan mempromosikan adanya akun-akun resmi organisasi dan lembaga terkait perlindungan anak dan kreatif digital di platform ini. Diharapkan akun-akun ini dapat memproduksi konten video kreatif yang bermanfaat.

Hanya, memang diperlukan masukan terus menerus mengenai pengembangan aplikasi. Misalnya bagaimana agar "feed" kita "bersih" dari konten negatif dan bagaimana AI yang diklaim Tiktok "selalu belajar" untuk mengenali dan membuat terobosan menarik.

MoU yang ditandatangani oleh SIBERKREASI sebagai wadah gerakan nasional literasi digital di Indonesia dengan Tiktok ini seyogyanya memantik penggunaaan tiktok lebih positif. 

Kadung menjadi kegemaran "kids jaman now", orangtua, guru dan masyarakat yang mesti ikut mempelajari "bermain tiktok".  Seperti apa hasil MoU ini apakah tiktok dikemudian hari menjadi aplikasi "konten kreatif" bukan hanya "aplikasi joget" tentu tergantung semua pengguna karena platform ini diisi oleh konten kreatif pengguna.


Contoh penggunaan dari Pemerintah Kota Palembang misalnya, diklaim Tiktok sebagai salah satu pemanfaatan positif untuk Asian Games dan dengan video singkat kreatif tersebut sangat diminati oleh pengguna dan meningkatkan kemeriahan Asian Games. Kampanye berhestek tertentu dengan tema Indonesia, kebangsaan, budaya positif pun bisa dilakukan. 

Seperti apa? Mungkin para organisasi bisnis, LSM dan pemerintahan yang memiliki akun dapat memproduksi konten tersebut agar lambat laun, pengguna menikmati kreativitas yang positif.

Kira-kira, akankah seperti itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun