Makanya, ribut ribut tambang tak pernah berhenti. Selama ada eksplorasi baru, selalu ribut. Di balik itu, ada banyak hal yang kompleks. Ada indikasi iri hati masyarakat yang nggak "kebagian", pemerasan, lingkungan yang rusak atau yang ngga rusak hanya memang perlu clearance untuk menambang kemudian di reklamasai tapi di dramatisir, itu juga terjadi. Selama itu pulalah saya senyum saja.
Ini kayak Telor sama Ayam. Mana yang duluan kita ngga tau. Selalu timbul aksi reaksi. Oleh karena itulah, saya rasa perusahaan tambang sudah harus siap hadapi oknum. Sebaliknya, masyarakat pun sudah harus siap hadapi oknum. Oknum lah yang membuat semua ribet. Karena sederhana aja, tambang dibuka karena ada nilai ekonomi disana. Kalau ngga mau ya sudah biarin aja. Gitu aja kok repot. So, ayam dan telor akan terjadi terus. Apalagi di utara Indonesia ini yang menyimpan kandungan mineral yang tinggi untuk dapat digunakan sebagai "modal" meningkatkan kesejahteraan.
BPR yang dimiliki politisi, juga beberapa usaha tambang dari grup Bakrie, dan lain lain merupakan perusahan lokal. Namun banyak hal konspiratif yang muncul jika kita bicara politik dan politisi / politikus.  Isunya sama. Yang lokal belum tentu "baik" yang luar, kalau saya lihat, sama, belum tentu "baik" tapi dari sisi tanggungjawab, saya lebih percaya. Karena aturannya jelas, etos kerjanya ada dan tanggungjawabnya diawasi ketat serta disiplin yang tinggi bagian dari profesionalisme perusahaan multinasional.
Saya berharap semua pihak berdiri di garis masing-masing aja, mari kita tunaikan tanggung jawab, hak dan kewajiban. Saya rasa kita semua punya makna sendiri mengenai hak, kewajiban dan tanggungjawab. Terutama masalah sumber daya alam di "ufuk utara" Indonesia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H