Ada dua hal yang menjadi pemicu utama berbagai permasalahan seputar pasar tradisional dan pasar modern. Yaitu pada satu sisi, adanya keterbukaan dan perkembangan ritel modern yang massif, dan disatu sisi ada otonomi daerah yang menyebabkan mau tidak mau, urusan pasar menjadi urusan pemerintah daerah.
Pelaku bisnis ritel yang tergabung di Asosiasi Perusahan Ritel Indonesia (APRINDO) beberapa bulan ini terhenyak dengan berbagai kejadian yang menimpa salah-dua anggotanya, yaitu Alfamart dan Indomaret. Dua ritel modern yang kerap menjadi “kambing hitam” karena ekspansi dan penetrasi super-cepatnya dijalur permukiman masyarakat.
Apa yang terjadi? Dua minimarket modern ini seringkali dibeberapa tempat terjadi penyegelan, misalnya di Perumahan Permata Biru, Desa Cinunuk, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung oleh sekelompok orang yang menamakan diri “paguyuban pengusaha kecil Permata Biru”.
Kejadian sama juga terjadi di Kota Bandung. Kali ini, pemerintah yang punya “hajatan” segel. Di Jl Juanda 301 dan 303, tak tanggung-tanggung dua minimarket “kakak-adik”, Alfamart dan Indomaret yang bersaing ketat disetiap lokasi, disegel oleh aparat Satpol PP karena terkait “izin”.
Ditempat lain, hampir dipenjuru negeri konsumerisme ini, juga banyak minimarket yang dihadang kehadirannya didaerah perumahan dan permukiman. Padahal, dari sisi strategis, minimarket memang menargetkan permukiman masyarakat. Dengan demikian tidak konfrontasi dengan supermarket besar.
Lebih apes lagi, di beberapa daerah, muncul Peraturan Daerah (perda) yang melarang berdirinya minimarket. Pembatasan pendirian ini salah satunya di Kota Depok, Jawa Barat. Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Depok sejak Mei sudah tidak menerbitkan lagi surat rekomendasi untuk untuk pendirian minimarket Alfamart dan Indomaret. Pemerintah beralasan keberadaan dua minimarket tersebut memicu iklim persaingan yang tidak sehat. Sebuah alasan yang sama dengan masyarakat, bahwa, minimarket berjarak kurang dari 1 km dari pasar tradisional dan mematikan pasar tradisional dan pedagang kecil (warung-warung rokok dan sejenisnya).
Apa benar?
Faktanya, penulis melihat, seringkali keberadaan pasar modern tidak mengganggu pasar tradisional, bahkan kerap menjadi pelengkap. Ambil contoh Ramayana dan Robinson. Sudah menjadi pemandangan umum kedua pasar modern ini selalu berdampingan bahkan ditengah-tengah pasar tradisional. Ini terjadi sejak lama. Ditempat tinggal penulis, di daerah Bogor, tercatat Ramayana di pasar Anyar dan Yogya Dept Store (Jogja Lama) di depan Kebun Raya yang langsung berhubungan dengan pasar tradisional di belakangnya.
Bagaimana dengan Pemerintah? Menurut penulis, tidak bijak dalam rangka “mengambil hati masyarakat” maka pemerintah kabupaten atau kota bersangkutan langsung menolak setiap keberadaan minimarket. Sebab, dalam banyak hal, minimarket menunjang kebutuhan dan memajukan perekonomian. Hanya saja, pengaturan dan peraturannya yang harus jelas. Perda yang dibuat seyogyanya bukan Perda yang melakukan restriksi ekspansi, namun lebih ke Perda ritel yang mengatur hak jarak, peruntukan dan pendirian. Dan yang paling penting, dari sudut pandang administrasi negara, tidak bertentangan dengan peraturan diatasnya, dan mengkaji terlebih dahulu baik dampaknya maupun analisa kondisi yang ada.
Perda-perda mengenai zonasi pasar tradisional dan modern dengan adanya klausul pelarangan/penolakan adanya ritel modern khususnya minimarket sebenarnya jelas bertentangan dengan Perpres No. 112 tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Tentu dalam pelaksanaannya akan terjadi konflik sehingga diperlukan kajian terlebih dahulu dan duduk bersama antara tokoh masyarakat, asosiasi bisnis terkait, dan pemerintah.
Mengenai alasan kebangkrutan UKM (pengusaha kecil), penulis ingat pernyataan Syarif Hasan, Menteri Koperasi dan UKM bahwa minimarket bukanlah penyebabnya. Pada tataran praksis, inti dari merebaknya minimarket adalah kebutuhan akan barang-barang konsumsi yang bersih, modern, supply terjaga dan harga yang tidak fluktuatif terlalu sering. Untuk itu, ketika Pasar Tradisional direvitalisasi, sehingga dari sisi tertentu “modern” maka keberadaan pasar tradisional tetap menjadi rujukan utama masyarakat. Apalagi, pasar tradisional dapat menjadi pusat barang-barang konsumsi sebelum bergerak ke toko-toko distribusi. Toko-toko tradisional pun, berpotensi menjadi ritel modern. Tidak perlu menjadi Alfamart, Indomaret, Yomart dan seterusnya. Bisa dengan merk sendiri, asal manajemen dan perlakuan pelanggan secara modern. Penerapannya mulai dari model swalayan, dan tentu, tidak boleh ada “kasbon” seperti yang seringkali terjadi.
Modernisasi bukan musuh pasar dan toko tradisional. Itu kita sepakat. Sebab, semakin ke depan, modernisasi menjadi hal yang sangat diperlukan dan mutlak. Hanya saja, pola pengembangan UKM, Pasar, Toko Tradisional perlu didorong untuk tumbuh dengan cepat, melebihi pertumbuhan minimarket sendiri yang diartikan sebagian masyarakat sebagai jalan pintas membuka toko dan jadi pengusaha dadakan. Ini yang harus diubah.
Uniknya, dorongan tersebut ternyata juga bisa berasal dari jaringan ritel besar. Seperti Carrefour asal Perancis, setelah mayoritas sahamnya di Indonesia dikuasai Bos Para Group, Chaerul Tanjung (CT) menargetkan Pojok UKM dan Bazaar UKM di setiap gerai Carrefour di seluruh Indonesia. Bahkan gedung Smesco direncanakan sebagai “gerai Carrefour” ke 27. Sebuah fakta lagi sinergisasi antara peritel besar dengan UKM.
Menurut saya, Disperindag seharusnya lebih konsen untuk merevitalisasi pasar tradisional, memberikan guidance dan mengembangkan toko tradisional untuk modern. Dapat bekerjasama dengan swasta dalam hal ini. Pasar Jakabaring, di kampung halaman saya di Palembang, saat ini menjadi pilot project model ini dan sampai saat ini berhasil. Pasar besar (induk) yang bersih, nyaman dan rapi. Dua jempol untuk Pemerintahnya. Tentu, Otonomi Daerah harusnya menghasilkan pemerintah yang lebih berbuat banyak untuk itu. Dengan perda-perda yang tidak tepat, akan menghambat perkembangan perekonomian daerah itu sendiri. Bahkan, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementrian Perdagangan, Soebagyo, menilai banyaknya perda penghambat dikarenakan pemerintah daerah kurang memahami esensi dan isi dari Peraturan Presiden No. 112/2007 dan Permendag No. 53/2008. Bukan karena “minimarket-nya” tapi karena tidak paham aturan zonasi, jarak, dan aturan-aturan lain terkait Perpres dan permendag.
Lantas, apakah ritel modern tiada berdosa? Saya tidak merasa berhak menghakimi, namun, dari pandangan mata, keberadaan beberapa minimarket di lingkungan sekitar rumah bersamaan dengan keberadaan minimarket modern milik pribadi. Saya tidak tahu pasti mengenai pendapatan masing-masing usaha, namun dalam beberapa tahun terakhir berdampingan, saya rasa belum ada salah satu usaha yang tiba-tiba bangkrut. Mungkin sama halnya warung-warung kecil yang –juga-- kalau ngomongin jarak, berdekatan satu sama lain tapi tetap bertahan dan biasanya, dari sedikit obrolan, cukuplah membantu si empunya dalam membiayai kebutuhan sehari-hari.
Jadi, benarkah keberadaan ritel modern tidak mengganggu ritel tradisional? Anda punya pengalaman dan pendapat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H