Mohon tunggu...
Unggul Sagena
Unggul Sagena Mohon Tunggu... Konsultan - blogger | educator | traveler | reviewer |

Asia Pacific Region Internet Governance Forum Fellow 2021. Pengulas Produk Berdasarkan Pengalaman. Pegiat Literasi Digital dan Penyuka Jalan-Jalan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Rutinitas dan Coffee Break Kepemimpinan

20 Februari 2014   22:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:38 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditengah rutinitas, kadang kita menjadi jengah. Segelas kopi seduh dan camilan ringan menjadi pembuka ruang-ruang otak yang terhambat oleh tembok-tembok yang setiap jam setiap menit kita tambahkan ketika larut dalam rutinitas. Rutinitas ini menjadi “mental block” untuk seseorang berkembang.

Beberapa ahli dan guru pernah berkata, “ketika sesuatu pekerjaan yang Anda lakukan terus-menerus membuat Anda jenuh, itu tanda kegiatan tersebut adalah Rutinitas.” Jadi Anda yang menentukan bahwa itu sebuah “rutinitas” atau sebuah hobi yang menyenangkan.

Bagaimana kita menjauhi rutinitas?

Nah, kebetulan, pada saat menulis ini, saya menyempatkan untuk sekedar berpaling dari laptop sekian menit. Untuk menyeduh kopi atau bercengkerama sejenak dengan keluarga. Apalagi, di dalam laptop terdapat koneksi internet dan cara untuk rehat sejenak adalah dengan membaca berita-berita via media masa daring, atau menyempatkan mengecek sosial media. Dan tersuguh berita-berita korupsi, kriminal dan gosip yang tak membuat pikiran kita jernih, malah justru lebih mumet.

Coffee break (rehat kopi), menutup laptop dan pergi keluar ruangan –setidaknya meninggalkan meja kerja mungkin cara terbaik untuk membuka blok mental tersebut.

Menghirup wanginya kopi dan atau sambil menikmati udara segar pepohonan hijau di luar rumah bisa jadi terapi, walau metode kabur dari rutinitas setiap orang mungkin berbeda.

Banyak pelajaran pula yang bisa kita ambil dari coffee break ala saya ini.

Ketika menyeduh kopi, ada sedikit air yang tertumpah dalam gelas yang cukup kecil. Ini bisa tak ada artinya, kita hanya mengambil lap kering dan membersihkan tumpahannya. Tapi gelas kecil ini memberi pelajaran, bahwa dalam suatu ruang yang tetap, Anda tak dapat memenuhi isinya melebihi kapasitas keterisiannya. Ide yang berlebihan perlu ditampung di gelas kedua, ketiga dan seterusnya.

Sambil memandang pohon, kita bisa menelaah hikmah yang alam berikan. Kemampuan pohon untuk tumbuh sangat erat dengan seberapa besar asupan air untuknya. Sehingga, julangnya pohon dan rimbunnya dedaunan hijau merupakan hasil akhir seberapa besar energi untuk dia hidup, menggapai matahari.

Erupsi gunung merapi tak melulu ditakdirkan sebagai fenomena alam yang qada dan qadar. Tapi memerlukan keluasan dan keluwesan berpikir untuk menjadikannya pelajaran bahwa ada faktor-faktor manusiawi yang perlu menjadi teladan. Kecepat-tanggapan bencana, tindakan-tindakan pencegahan, hingga seberapa cepat para wakil rakyat dan pemimpin bangsa –dalam hal ini sebut saja sang presiden, mendatangi korban untuk sekedar memotivasi dan berempati tanpa perlu disorot media dan menggunakan tenda mewah dilengkapi penyejuk udara.

Bahasa yang universal adalah bahasa alam. Kejadian chaos (teori mencari keterhubungan dari hal-hal yang tak beraturan di jagat raya) seperti yang saya temukan diatas bisa jadi titik tolak untuk gagasan-gagasan baru yang bisa dituangkan dalam penulisan.

Membaca dari alam ini seperti membaca sari kehidupan. Bisa pula kita hubungkan dengan banyak hal. Terutama untuk menjauhi kerutinan dan mendapatkan kembali kesegaran dalam berpikir dan menulis.

Bahkan dapat mendorong pikiran privat yang “liar” namun “bernas” dalam memandang hubungan kita sebagai rakyat terhadap negara sebagai penguasa.Sebab, kerutinan adalah hal yang bisa merusak. Seperti berita kriminal, gosip dan kembali lagi, kampanye tokoh-tokoh untuk menjadi presiden (baca : penguasa).

Kadang saya berpikir, bisa jadi rutinitas empat tahun pemilihan umum ini sudah kita anggap bagian dari rutinitas. Rutinitas ini bisa merusak hidup. Scrutinize your life. Mungkin, Anda, seperti saya, punya gagasan liar untuk melupakan rutinitas pemilu. Pada praktiknya, ingar-bingar politik Anda lupakan saja. Anda bisa tidak memilih (bahasa populernya Golput) atau siap memilih si A atau partai B namun sudah, cukup. Itu saja. Kalau tidak, kembali lagi, kita terjebak rutinitas. Atau, kita bisa berpikir, kalau Kepemimpinan itu menjadi rutinitas, kita bisa coffee break sekejap!

Pelajaran dari coffee break dan pohon-pohon diatas hanya sebagian kecil dari apa yang bisa kita ambil dari alam yang “chaotic”.

Sekarang, ketika rutinitas kepemimpinan melalui berbagai kampanye di televisi –yang notabene milik para pengejar kekuasaaan ini, stiker-stiker angkot, spanduk dan poster ala foto model di jalan-jalan, sudah (kita anggap) terjadi, maka itulah saatnya coffee break kepemimpinan negeri.

Karena, dari pelajaran coffee break (saya), bisa jadi jalan mencari pemimpin masa kini adalah dengan juga melakukan coffee break. Stop runititas dan mungkin, masih mungkin, akan ada pemimpin baru yang hadir setelah coffee break time itu berakhir. Dia yang dalam masa coffee break bercengkerama dengan alam, bertegur sapa hati ke hati dengan masyarakat sambil “ngopi”.

Ah, sudahlah, kopi sudah habis, mari kembali ke laptop dan kerjakan sesuatu yang tidak rutin!

sumber foto:inagurasi.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun