Berikut ini terjemahan wawancara Gordy Slack dengan biolog Inggris Richard Dawkins pada Maret 2005. Pada bagian ketiga Dawkins memaparkan perasaan religius transendental yang dialami oleh semua ilmuwan, entah mengaku beragama atau ateis. Perasaan ini jauh berbeda dengan perasaan terhadap kekuatan supranatural. Huruf tebal adalah pertanyaan Slack disusul jawaban Dawkins.
Apa ada sisi emosional pada penjelajahan intelektual untuk menyingkap kisah kehidupan di Bumi?
Ya, Saya sangat merasakan hal itu. Ketika kamu bertemu seorang ilmuwan yang menyebut dirinya religius, kamu akan sering menemukan bahwa itulah yang mereka maksud. Kamu sering temukan arti “religius" bukan berarti hal-hal apapun yang supranatural. Yang mereka maksud persisnya adalah sejenis tanggapan pribadi terhadap dunia yang telah Anda perikan. Einstein merasakannya sangat kuat. Sialnya, ia memakai kata “Tuhan” untuk meringkusnya, yang mengarah pada suatu salah paham yang dahsyat. Tapi Einstein memiliki perasaan itu, saya juga punya perasaan itu, kamu bakal temukan dalam tulisan-tulisan banyak ilmuwan. Ini adalah sejenis perasaan nuansa-religius. Dan ada ilmuwan yang ingin menyebutkan religius dan ada yang sewot ketika seorang ilmuwan menyebut dirinya ateis. Mereka pikir, "Tidak, kamu percaya pada perasaan transendental ini, tidak mungkin kamu seorang atheis." Itulah repotnya bahasa.
Sejumlah ilmuwan bilang bahwa menghapus agama atau Tuhan dari kehidupan mereka akan membuat kehidupan tak bermakna, Tuhan-lah yang memberi makna pada kehidupan.
Buku Unweaving the Rainbow secara khusus menyerang gagasan itu, bahwa cara-pandang mekanis, materialis, alami, membuat hidup terlihat tak-bermakna. Sangat berlawanan, cara-pandang ilmiah merupakan cara-pandang yang puitis, yang hampir-hampir sebentuk cara-pandang transendental. Kita lahir dalam keistimewaan yang menakjubkan dibanding yang lainnya—sebelum mati dalam beberapa dasawarsa—di mana kita dapat memahami, mengapresiasi, dan menikmati alam-semesta. Mereka yang hidup sekarang ini jauh lebih istimewa daripada beberapa waktu yang lebih dini. Kita mendapat keuntungan dari penjelajahan sains dalam beberapa abad terakhir. Tanpa punya bakat istimewa dalam diri kita, kita punya keistimewaan untuk tahu jauh lebih banyak daripada beberapa abad yang silam. Aristoteles tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang bisa kita sampaikan pada anak-anak sekolah sekarang. Itulah keistimewaan di abad yang sekarang kita lakoni. Itulah yang memberi hidup saya makna. Dan faktanya, hidup saya terbatas, dan itu adalah satu-satunya hidup yang saya punya, yang membuat saya lebih bersemangat ketika bangun saban pagi dan bekerja untuk lebih memahami dunia tempat saya merasa sedemikian istimewa pernah dilahirkan.
Manusia bisa jadi bukan produk sejenis perancang-cerdas, namun dengan teknologi genetika sekarang, keturunan kita mungkin saja bisa. Apa artinya pada masa depan evolusi?
Menarik sih membayangkan bahwa beberapa waktu lagi, orang-orang akan melihat abad ke-20 dan ke-21 sebagai titik-balik evolusi—waktu ketika evolusi berhenti sebagai kekuatan yang tidak terkendali dan menjadi pendorong yang terancang. Para petani selama beberapa abad terakhir, bahkan mungkin milenia, sudah punya keinginan merancang evolusi dengan menternakkan binatang seperti babi, sapi, dan ayam. Keinginan itu meningkat dan kita semakin cerdas secara teknologi dengan mengakali, tidak hanya bagian seleksi dalam evolusi, tapi juga bagian mutasi. Hal itu akan jadi sangat berbeda dalam salah satu sifat terhebat evolusi biologis sedari sekarang, yakni tidak ada gambaran masa depan.
Secara umum, evolusi adalah proses buta. Itulah sebabnya saya beri judul buku saya Blind Watchmaker. Evolusi tidak pernah melihat masa depan. Tidak pernah mengatur masa kini berdasarkan apa yang bakal terjadi di masa depan sebagaimana tak-diragukan lagi terjadi pada rancangan manusia selama ini. Tapi sekarang dimungkinkan melahirkan babi atau ayam jenis baru dengan kualitas yang yah... begitulah. Kita mungkin bahkan bisa meloloskan babi melalui satu tahap yang sebenarnya kurang bagus sesuai keinginan kita, tapi kita berani melakukannya karena kita tahu akan menguntungkan di masa depan. Hal itu tidak pernah terjadi di evolusi alami; tidak pernah ada "ayo bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, menuruni lembah demi mencapai puncak dari arah yang berlawanan." Jadi, ya, saya kira barangkali kita hidup di suatu masa ketika evolusi tiba-tiba mulai menjadi terancang-cerdas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H