[caption id="attachment_143585" align="alignleft" width="380" caption="Sang Penari (2011)"][/caption] Seorang tentara berjalan sendiri menyandang bedil menyusuri gang-gang di satu pedukuhan yang kosong tanpa penghuni. Satu-satunya orang di sana, ditemukan meringkuk di pojok salah satu rumah. Tentara dan orang itu saling mengenal dan cerita mengenai kekejaman, kelicikan, serta keluguan para korban kudeta militer 1965 pun dimulai sebagai film "Sang Penari" (2011), karya Ifa Isfansyah. Adegan kemudian mundur (flashback) ke situasi kampung pada dekade 1950-an. Masa itu Dukuh Paruk dalam krisis pangan. Tempe bongkrek jadi pelengkap murah-meriah untuk gaplek. Pada satu pagi, bongkrek membunuh warga Paruk, termasuk ronggeng andalan, dan sepasang korban lagi adalah orangtua Srintil yang memproduksi bongkrek sialan itu. Srintil dibesarkan oleh eyangnya dalam tekanan sosial sebagai anak peracun warga. Ia memutuskan menjadi ronggeng dalam seni tayub untuk membersihkan nama baik keluarganya. Rasus, teman sepermainan Srintil, yang diam-diam menaruh hati, tidak suka mengetahui Srintil mau jadi ronggeng, dengann alasan apa pun. Bakat alam Srintil menari belum cukup menjadikannya ronggeng. Dukun Ronggeng di Paruk tidak mau menabalkan Srintil. Peresmian Srintil sebagai ronggeng, baru bisa terjadi setelah Rasus menyerahkan keris ronggeng yang pernah ia selamatkan di masa keracunan massal bongkrek. Rasus ,yang patah hati, kemudian pergi ke pasar dan menjadi jongos (office boy) tentara, lantas naik status menjadi tentara reguler Angkatan Darat di daerah itu. Cerita melompat satu dasawarsa ke masa-masa panas agitasi PKI (Partai Komunis Indonesia). PKI merangkul rakyat bodoh dan buta huruf menjadi simpatisan.  Tayuban menjadi alat penggalang massa. Kurang pangan dimanfaatkan untuk menarik massa menjadi anggota PKI. [caption id="attachment_143654" align="alignleft" width="300" caption="PKI memerahkan kesenian untuk tujuan politik."][/caption] Srintil semula berkeras tidak mau menari dalam acara PKI, tapi akhirnya luluh juga. Kecuali seorang warga, penabuh gendang tuna-netra, seluruh dukuh itu kemudian mencatatkan diri untuk menerima bantuan pangan dari PKI. Catatan itu beberapa tahun kemudian menjadi pedoman angkatan darat dan milisi penjagal untuk menangkap, menyiksa, dan membunuh warga, yang melek fisik tapi buta huruf dan buta politik. Pembantaian ditayangkan cukup jelas. Para lelaki Dukuh Paruk berlutut di tepi sungai dalam kegelapan. Satu per satu leher mereka digorok seperti ayam. Mati. Bahar, agen PKI ditembak mati oleh Rasus ketika berusaha lari dari arena pembantaian. Para perempuan Dukuh Paruk ditahan di satu pabrik gula. Srintil yang cantik menjadi barang 'pinjaman' semalam para penguasa untuk ditiduri. Rasus bersikeras cuti kepada sersan atasan, yang biasa dipanggil 'abang', untuk mencari Srintil. Pada masa cuti ini lah, Rasus kembali ke Dukuh Paruk dan menjadi pembuka film ini. Pada kesempatan ini Rasus menemukan lagi keris ronggeng yang pernah ia serahkan kepada Srintil untuk dinobatkan sebagai ronggeng. Akhirnya Rasus menemukan lokasi penahanan dengan risiko disangkut-pautkan sebagai komunis.. Setiba di likasi penahanan, ia hanya bisa menyaksikan Srintil diseret pergi dengan kereta pengangkut tebu ke lokasi penahanan baru yang tidak jelas. Satu dasawarsa kemudian, dalam derap kekuasaan Orde B aru, di Pasar Dawung, di sudut keramaian, Srintil dan Rasus bertemu sekali lagi. Srintil sudah bebas dan menjadi pengamen tari bersama si penabung gendang buta. Rasus sudah naik pangkat dan mengenakan baret-hijau. Dalam pertemuan ini sekali lagi Rasus menyerahkan keris ronggeng yang dia temukan. Srintil kemudian digambarkan pergi meninggalkan Rasus melalui jalan setapak. Keduanya berpisah (lagi). Yang jelas, Srintil selamat melewati aniaya para serdadu selama penahanan.
--------------
Film ini merupakan saduran trilogi novel 'Ronggeng Dukuh Paruk' (http://fiksi.kompasiana.com/novel/2011/11/11/tiga-babak-derita-dukuh-paruk/). Kendati demikian, sangat tidak sopan membandingkan karya dalam media film dengan buku. Film ini semestinya dibahas sebagai film bukan novel. Ifa berhak mereka-ulang kisah 'Ronggeng Dukuh Paruk' agar pas dengan ukuran layar-perak. "Sang Penari' sarat makna simbolik mengenai proses perubahan sosial-politik di awal Orde Baru. Setiap periode kisah dibahas dalam lompatan satu dasawarsa yang menentukan hidup-mati Dukuh Paruk. Warna hijau mendominasi gambar nyaris dari awal sampai akhir, entah sebagai tumbuhan, seragam tentara, atau milisi penjagal. Tapi tertangkap pesan implisit dari film ini bahwa hijau tidak selalu berkonotasi dengan kesejukan dan pelindung. Di tengah kehijauan film ini, kelaparan, muslihat, kekuasaan, sampai pembantaian. Hijau bisa berarti perlambang alam atau militer. Antrian warga dukuh demi pangan dan muslihat PKI merekrut massa, langsung mengingatkan pada cara-cara parpol mencari massa di ujung Indonesia pada masa kini, menjelang Pemilu. Entah kenapa ya, melihat wajah agen PKI di sini, langsung teringat anggota DPR-RI. Ifan cukup peka untuk tidak menonjolkan siapa para milisi tukang jagal dalam film ini. Mungkin untuk mencegah ormas terkait sewot dan mendemo film ini. Tapi ia suka sekali meledek milisi dengan yang dilukiskan mengenakan seragam yang mirip hansip. Kendati bersuara galak dan sadis, lagak mereka cukup menjijikkan. Situasi kampung yang kosong, mirip sekali dengan laporan wartawan Sinar Harapan tentang kampung-kampung yang kosong di Purwodadi dan Blora, karena warganya habis dibantai oleh milisi dan tentara pada 1965. Memang di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, pemandangan kampung kosong sudah kodian masa itu. Untung Ifan tidak menampilkan seorang pesakitan diseret jip sepanjang jalan sampai mati. Adegan penyiksaan sangat simbolik dan klasik. Pesakitan disorot lampu, dengan siluet tentara. Adegannya menyampaikan pesan betapa sial rakyat di tengah prahara politik. Ifan tidak menampilkan anggota PKI (dan ormas/simpatisan yang militan) yang terkenal tegar sampai mati selama disiksa, tapi justru rakyat yang bodoh (Srintil, kakek, dan istri dukun ronggeng). Situasi interogasi dalam film, sangat mirip kisah gadis-gadis remaja yang babak-belur disiksa dan diperkosa militer agar mengaku sebagai penyiksa jenderal-jenderal di Lubang Buaya pada dinihari kudeta militer 1965. Satu hal yang luarbiasa adalah penayangan adegan pembantaian di tepi sungai. Boleh jadi, baru sekarang kejadian itu ditayangkan dalam film Indonesia sejak 1965. Bahkan film 'Sinengker' karya putra-putri Nahdlatul Ulama (SI), yang khusus dibuat untuk mengenang kekerasan 1965 pun tidak sekeras Ifan mengkritik kejahatan kemanusiaan masa itu. Simbol penutup film cukup sarat makna dan aspek sinematografis. Langit dan cakrawala di belakang, Srintil menari di jalan menjauhi kamera. Seolah melambangkan dunia baru, Orde Baru, tapi isinya kosong tanpa kemanusiaan. "Sang Penari" cukup bagus dan filmnya layak ditonton untuk mengingatkan betapa brutal situasi pada masa itu, kejamnya kekuasaan, dan korban terbesar konflik kekuasaan selalu saja si pandir. Terakhir, ada satu pertanyaan yang hendak diungkap sebagai penutup di sini, yang kebetulan ada di akhir film juga. Bagaimana bisa seorang tuna-netra berjalan tanpa tuntunan, tanpa tongkat, sambil menabuh gendang, atau tersaruk di jalan tanah, padahal di bagian lain film terlihat sangat jelas harus dibimbing? Selamat menonton dan salut buat mereka yang pernah terlibat dalam pembuatan film ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H