Proses pembentukan kebangsaan Indonesia sudah banyak ditulis. Dari sekian banyak pendapat pada umumnya ada tiga usul. Tulisan ini akan menampilkan tiga cara pandang yang berbeda yang mencerminkan berbagai saran yang sudah ada. Tiga cara pandang itu tercermin pada tiga buku yang sekarang menjadi klasik, yakni Nusantara (Vlekke, terbit 1943),  Menjadi Indonesia I (Parakitri Simbolon, 1995), dan Nusa Jawa: Silang Budaya (Lombard, 1996). Ketiga simpul pendapat ini menjadi bahan utama yang akan dibahas dalam tulisan ini. Nusantara berargumen bahwa pembentukan kebangsaan Indonesia terjadi sejak zaman kerajaan-kerajaan pra-kolonial. Salah satu contoh yang dipaparkan Vlekke misalnya kerukunan beragama yang sekarang masih dianggap ada di Indonesia. Menurut Vlekke, akar kerukunan beragama bukan toleransi, melainkan sinkretisme (campursari) keyakinan/agama baru dengan yang datang kemudian. Argumen Vlekke menuai kecaman karena data yang dipakai dianggap keropos. Banyak data yang digunakan Vlekke sebagai bahan penyusunan buku Nusantara bercampur dengan mitos. Pendapat Vlekke dibantah oleh Parakitri yang memperlihatkan bahwa kebangsaan Indonesia terbentuk berkat penjajahan, terutama Belanda. Sebelum penjajah berkuasa, kebangsaan Indonesia tidak jelas juntrungannya. Dalam buku Menjadi Indonesia I, dipaparkan proses kebangsaan Indonesia berdasarkan telaah dokumen agar tidak mengulang kesalahan data yang dialami Vlekke. Dua buku tersebut pertama memakai metode kronologis sebab-akibat untuk menguraikan argumen masing-masing. Selang setahun terbit, sejarawan Prancis, Dennys Lombard, melontarkan metode baru untuk melihat proses kebangsaan Indonesia. Ia memperkenalkan metode "geologi sejarah" (les annales--mazab annal) yang dikembangkan di Prancis. Mazab Annal dirintis oleh Fernand Braudel. Dalam metode "geologi sejarah", proses sejarah tidak dilihat sebagai proses sebab-akibat, melainkan seperti pembentukan lapisan tanah. Proses yang paling awal akan mengendap ke bawah-sadar masyarakat. Karena ada di bawah, lapisan ini tidak mudah dilihat, tapi jejaknya dapat ditemukatn pada perlambang, istilah, dan tetek-bengek yang hidup di masyarakat. Perubahan di lapisan ini sangat lama, boleh dibilang terbilang abad. Semakin ke atas, lapisan mudah terlihat perlambang-perlambangannya namun semakin cepat berubah. Ada pun lapisan di bawah berpengaruh secara tidak langsung pada lapisan yang lebih atas. Dalam susunan metodologi "geologi sejarah", lapisan teratas masyarakat adalah politik. Politik berumur pendek, bisa dalam menit saja atau tahun. Kita bisa saksikan begitu cepat perubahan kekuasaan ketika Jenderal Besar Suharto lengser, atau yang pekan ini terjadi di Thailand. Di bawah politik adalah lapisan ekonomi. Lapisan ekonomi berumur sampai beberapa dasawarsa. Kita bisa lihat bagaimana ekonomi AS berubah beberapa kali dalam tempo kurang dari seabad, sejak Depresi Besar sampai Resesi 2008. Di bawah politik ada lapisan sosial. Perubahan di sini memakai waktu dua-tiga abad. Kita bisa melihat naiknya Presiden Obama sekarang sebagai contoh perubahan sosial di Amerika yang terjadi dalam kurun dua abad sejak perang saudara pecah. Lapisan terbawah adalah budaya. Lapisan ini berubah sangat lambat, lebih dari dua-tiga abad namun sangat mendalam dan jelas perlambangnya. Contoh konkret adalah budaya makan nasi di Indonesia. Makan nasi sudah ada sejak akhir masa berburu-memulung dan masih bertahan sampai abad ke-21. Nusa Jawa: Silang Budaya tidak menyebut lapisan itu secara detil seperti di atas. Ia memperlihatkan bahwa kebudayaan masyarakat di Jawa [bukan kebudayaan Jawa!] terbentuk seperti sekarang akibat persilangan tiga gelombang kebudayaan. Kebudayaan paling awal adalah Indianisasi, disusul Cina dan Islam [satu gelombang], kemudian Barat. "Geologi sejarah" secara gagasan serupa dengan Vlekke dan berlawanan dengan Parakitri. Lombard berbeda dengan Vlekke dalam hal melihat proses pembentukan masyarakat tidak melulu hanya dari masa pra-kolonial, melainkan juga mencakup masa kolonial dan pasca-kolonial. Secara metodologi, Nusa Jawa setangguh Menjadi Indonesia I karena mengandalkan data empiris. Berkat metode "geologi sejarah", sejarah empiris bisa diperpanjang jangkauannya ke masa pra-kolonial bahkan sampai ke fajar melek-huruf di Nusantara sekitar abad ke-4. Kehadiran ketiga buku ini pada sisi lain mengungkap persaingan dua cara pandang yang sekarang populer di dunia. Vlekke dan Parakitri mewakili cara pandang tradisi Anglo-Saxon yang melihat proses sejarah sebagai hal yang linier--sebab-akibat. Adapun Lombard mewakili tradisi berpikir Prancis yang melihat sejarah sebagai proses non-linier.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H