Mohon tunggu...
Adit Aditya
Adit Aditya Mohon Tunggu... -

Direndam sampai lama pun kayu tidak akan berubah menjadi buaya. Ritual keagamaan dan perbuatan baik dapat membuat orang merasa benar atau tampak benar di mata orang lain, namun itu tidak menjadikan mereka benar di hadapan Tuhan (The Way of Righteousness)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Cinta si Pria Lugu (2): Balasan Puisi Cinta

11 Desember 2011   14:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:30 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Puisi Cinta dapat dilihat di sini.

Tiga hari yang penuh dengan kesalahan membuat adonan bolu kukus – dan karenanya omelan Emak – laksana panas setahun sirna oleh hujan sehari dengan kedatangan sepucuk surat, dari Dita!!! Tanpa mempedulikan tangannya yang masih berlepotan adonan bolu kukus, Adit berlari ke kamar dan membaca.

Teruntuk Adit,

Dagidugadog-dagidugadog-dagidugadog … jantung Adit bekerja keras.

Terima kasih atas puisimu yang amat “memujaku”, sungguh amat “menyentuh” dan membuat aku “tersanjung ke langit terbawah”.

“Dita mengerti isi puisiku!” sorak hati Adit.

Aku tak punya rangkaian kata yang pas untuk menyatakan apa yang kurasakan setelah membaca puisimu tapi aku memang tak bisa lupa dengan …

sorot matamu yang selalu menghantuiku di malam-malam gelap dan sunyi

Mata Adit berkejap-kejap. Hidungnya mulai bergerak-gerak sendiri.

kumismu yang, hm … laksana ilalang yang setiap hari kau lalui bersama Buli

Adit mendekat ke cermin dan memandangi kumisnya yang hidup segan mati tak mau. Hidungnya mengembang kayak kue bolu Emak setelah lima menit dikukus.

suara tawamu yang mampu membuat anak-anak tak lagi bisa berceloteh

“Ha ha ha … Ha ha ha …” Merekah bak bolu kukus setelah sepuluh menit.

tubuhmu yang bulat keras laksana Buli, sungguh membuat hati dan tubuhku “bergetar” keras sekali!

Adit menepuk-nepuk dadanya. Begh…begh…begh… Hidungnya sudah mencapai ukuran maksimal yang bisa dicapai manusia biasa.

Sungguh…sungguh “bahagia” gadis yang mendapatkan puisi “seindah” puisimu. Semoga kau mengerti!

Memang ada beberapa bagian yang perlu Adit pikirkan dengan keras untuk memahami maknanya. Kata-kata dalam tanda petik mendapat perhatian terbesarnya dan menambah dagidugadog-nya. Tak lama kemudian, “Emak!!! Emak!!!” Teriakan dahsyat dan tiba-tiba itu menjatuhkan adonan kue bolu kukus dari tangan Emak.

Emak bakal dapat mantu! Emak bakal dapat cucu! La … la … la …

Adonan yang baru saja diangkat Emak terjatuh kembali. Melihat Emak cuma melongo, Adit menyodorkan surat sang dewi.

Emak membacanya dan hanya dapat menghela nafas panjang.

(Bersambung ke bagian akhir)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun