Mohon tunggu...
Adit Aditya
Adit Aditya Mohon Tunggu... -

Direndam sampai lama pun kayu tidak akan berubah menjadi buaya. Ritual keagamaan dan perbuatan baik dapat membuat orang merasa benar atau tampak benar di mata orang lain, namun itu tidak menjadikan mereka benar di hadapan Tuhan (The Way of Righteousness)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Cinta si Pria Lugu (1): Puisi Cinta

10 Desember 2011   15:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:34 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini tentang seorang pemuda, Adit namanya. Lugu, jujur dan rajin membantu Emaknya, satu-satunya keluarga yang ia miliki. Terdengar seperti sempurna? Tidak juga, Adit pun punya banyak kekurangan.  Ini tentang kisah cintanya pada seorang gadis putri orang kaya. Terdengar klise? Memang banyak hal klise di sekitar kita.

Dengan wajah cantik sang dewi terus-menerus terbayang di pelupuk matanya, Adit tak lagi mampu dengan baik membantu usaha bolu kukus emaknya dan mengangon satu-satunya kerbau milik mereka. Gelora hati semakin tak tertahankan. Dibayangkannya untuk membuat sebuah puisi kekaguman untuk sang dewi. Celakanya, puisi adalah sesuatu yang baru dia kenal saat ingin membuatnya. Dicobanya pergi ke toko buku dan menumpang baca di sana. Tentu buku yang dipilihnya adalah buku-buku tentang puisi cinta. Membaca contoh-contoh puisi berisi “bak mayang terurai,” “laksana untaian zamrud,” dsb., dsb., Adit cuma dapat menggaruk-garuk kepalanya karena semua itu tidak memiliki asosiasi yang dikehendaki frase-frase tersebut di otaknya yang tidak memiliki pikiran rumit itu. Dari sekian banyak buku yang sempat dibacanya sebelum dipelototi oleh satpam toko, dia berhasil “mencuri” beberapa kata untuk puisinya dan berhasil mempelajari satu hal: bayangkanlah yang “indah-indah” atau “hebat-hebat” untuk mengibaratkan segalanya tentang sang gadis dan jika perlu katakanlah milik sang gadis pujaan jauh lebih lagi.

Emak, yang tak tahu ujung pangkal permasalahan, sedikit bingung dengan perilaku anak semata wayangnya yang sering komat-kamit sambil memandangi sekelilingnya – bahkan memandang dirinya dengan pandang mata yang aneh – atau sambil mengelus-elus si Buli, kerbau mereka. “Ah, anak muda, nanti juga normal kembali,” suara hati Emak berkata.

Walau telah memeras otaknya selama dua hari, Adit tidak membuat kemajuan berarti untuk puisi cintanya. Puisi cintanya tetap hanya berisi “Duhai Dita, sorot matamu …” lalu kosong dan kosong. Lelah, dia terlelap dan bermimpi. Di sana, dia menemukan ide-ide luar biasa untuk puisinya.

Hanya ingat dengan puisinya saat terbangun di pagi harinya, Adit langsung menuliskan ide-ide hasil bawaan alam bawah sadarnya itu – mumpung belum lupa!

Yang pertama tentu tetap tentang mata sang dewi, yang telah merontokkan hatinya; lalu, alis matanya, hidungnya, bibirnya dan rambutnya, segalanya. Ah … pena pun bergerak.

Teruntuk Dita,

Duhai Dita, sorot matamu sangat bening dan dingin seperti air sumur di pagi hari, seperti juga sorot mata serigala, membuat hatiku melorot dan tubuhku gemetaran

Alis matamu seperti tanduk Buli, tapi lebih indah; dan juga lebat, seperti perdu yang biasa dimakan Buli

Hidungmu, begitu mungil …, oh, hidung anjing pemburu pun tidak dapat menandinginya

Bibirmu saat tersenyum, amboi … merekah lebih lebar dari bolu kukus bikinan Emak (yang paling enak di dunia)

Rambutmu … sapu ijuk pun tak sehitam rambutmu, pasti dia merasa malu berada di sebelahmu; panjang berayun-ayun, sungguh jauh lebih mempesona dari rambut putih Emak

Melihatmu melangkah, aku ingat Buli, perlahan namun menghentak bumi, juga hatiku

Segalanya pada dirimu telah membuatku nggak bisa bantu emak dan mengangon si Buli.

Dibacanya puisi ciptaannya lagi, dan lagi. Masih adakah hal-hal “indah” atau “hebat” untuk disandingkan dengan dewi pujaan hatinya? “Ah, tidak ada lagi. Sudah sempurna!” Dengan wajah berseri-seri Adit memasukkan kertas berisi puisi puja-puji itu ke dalam amplop. Tak lupa disertakan juga sebuah perangko balasan – kasihan jika sang dewi harus membeli perangko sendiri untuk membalas suratnya ini! Selanjutnya, Adit hanya punya debar-debar keras, menanti balasan sang dewi.

(Bersambung ke bagian dua)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun