(1) Puisi Cinta, (2) Balasan Puisi Cinta
Melihat reaksi Emak yang tidak seperti yang ia bayangkan, Adit menghentikan tawa dan tarian ala film India-nya.
“Kenapa…ada apa, Emak?”
Sekali lagi, Emak menghela nafas panjang … berpikir keras, mencari kata-kata yang tidak akan melukai hati anaknya, dan hatinya sendiri.
“Kau membuat puisi untuk Dita? Boleh Emak lihat?”
“Jiah….sudah tidak ada, Mak, kan sudah kukirimkan pada Dita. Tapi, aku masih ingat betul kata-katanya.” Dengan penuh perasaan Adit membacakan puisi puja-pujinya.
Emak kembali hanya dapat menghela nafas panjang. Memahami mengapa Dita menulis seperti itu. Setelah lama termenung … “Hmm … nanti kita bicarakan, anakku. Sekarang, kita selesaikan bolu kukus ini dulu.”
Adit terdiam, tanpa banyak bicara ia membantu Emak menyelesaikan bolu kukus, yang di atasnya ada rekahan senyum Dita.
Sesuatu yang memberatkan pikiran Emak terlepas setelah menjelaskan segalanya pada Adit. Tidak seluruhnya, namun sudah jauh lebih melegakan. Ada kesedihan, ada rasa malu menghampiri Adit, tapi bukan rasa malu yang itu. Adit tahu apa yang ditulisnya, dan dia tidak malu dengan itu. Dia menyadari kekurangannya dan menyadari bahwa dia telah salah mengerti dan berbangga diri. Dan itu tidak membawanya ke mana pun, hanya membuatnya tidak dapat melihat yang sesungguhnya. Adit kembali menjadi dirinya, tetap rajin dan tulus membantu Emak dan mengangon si Buli. Kesedihan, bagaimana pun, masih sekilas-sekilas berkunjung.
Pagi yang entah keberapa, saat menimba air, tanpa diduga sang dewi melintas. Digadegadug-digadegadug-digadegadug … Adit nyaris nyemplung ke dalam sumur.
“Ha…hai, Dita …”
“Hmph!!!” Langkah terus berayun.
“Terima kasih atas balasanmu. Kau sungguh baik hati.”
“???” Sedikit melambat.
“Emak sudah memberitahuku dan aku mengerti. Maaf, cuma puisi itu yang dapat kubuat untukmu. Aku tahu aku tidak pandai. Aku tidak membalas karena tidak berani menulis lagi untukmu setelah yang pertama itu.”
Dita menghentikan langkahnya, dipandanginya Adit, berupaya mencerna kata-kata itu.
“Setiap pagi aku menimba air untuk Emak, coba kau lihat dan rasakan, betapa bening dan dinginnya air sumur ini, begitu indah, seperti sor… eh, seperti yang kutulis.” Tiba-tiba saja Adit mengulang sebagian dari puisinya.
Masih termanggu, tanpa sadar tangan Dita menyambut ember berisi air sumur. Dipandanginya air sumur yang masih berguncang pelan. Bening … memang bening. Tanpa sadar pula dia mencelupkan tangannya. Dingin … ya memang dingin. Namun, bukan dingin yang menggigilkan. Dingin yang menyegarkan, yang menentramkan. Pandang matanya beralih ke sorot mata Adit yang lugu. Apa yang dia lihat di sana? Ejekan? Kebodohan? Ketulusan? Mata itu melihat dengan cara yang berbeda, sederhana namun tidak ada kepalsuan darinya. Dengan itu berputar dalam benaknya, tiba-tiba air yang selama ini terlihat dan terasa biasa terlihat berbeda, terasa berbeda. Dita memandang sekitarnya. Sinar matahari pagi yang penuh kasih mengelusnya, kehangatannya yang tidak mengenal diskriminasi memeluk kulitnya. Angin membelai lembut rambutnya, yang kata Adit lebih mempesona dari rambut putih Emak. “Seperti inikah ‘sebenarnya’ mentari pagi?” Aneh, tiba-tiba saja hujan datang, tanpa banyak kegaduhan, tidak deras. Butir-butir berkilauan turun bagai tirai bersulam emas dari pucuk dedaunan. Sinar mentari membentuk jalur-jalur keemasan bak pancaran mata air dari negeri dongeng. Dita terpukau menatap semua itu. Kesibukan, kesombongan karena puja-puji yang entah murni atau palsu, ke-aku-an dan lain-lainnya membuat apa yang dilihatnya, apa yang dirasanya, tampak biasa, terasa biasa. Banyak yang menjadi tidak terlihat, tidak terasa.
Telinga Dita seperti mendengar “… lebih indah dari tanduk Buli,” “… hidung anjing pemburu pun tidak dapat menandinginya,” “… merekah lebih lebar dari bolu kukus bikinan Emak,” “… pasti sapu ijuk merasa malu berada di sebelahmu.” Rasa apa yang muncul saat ini? Bukan, bukan amarah, rasa tersinggung atau terhina. Apa?
Mata Dita tiba-tiba terasa panas. Betapa hanya butuh hati dan pikiran yang polos untuk memahami, untuk merasakan, untuk menikmati keindahan yang sebenarnya selalu ada. Mata lugu itu masih di sana, menatapnya dengan jujur. Dita pun melihat asosiasi yang melampaui kata dalam puisi tersebut. Dita mendekat, dikecupnya bibir pemilik mata, dengan sepenuh hati. Gula pun, bahkan, terasa hambar.
“Ee…!” Bluk! Bibir berpisah, dua pasang mata memandangi Emak yang terbujur di depan pintu.
“???” Cuma itu yang tergambar pada wajah Emak saat siuman.
Dita bicara. Adit bicara. Berbeda, namun mereka bicara dalam satu bahasa, dalam satu harmoni, satu makna. Satu yang membuat dua saling mengisi, saling menguatkan.
Emak memejamkan matanya. Dirinya tertarik ke satu masa, jauh di belakang. Seorang pria, sederhana, jujur dan tulus memberinya sekuntum bunga. Bukan, bukan bunga mawar yang indah, juga bukan bunga yang mahal, hanya bunga liar yang tumbuh di padang. Dia menerimanya. Dia tahu ‘bunga’ apa yang sebenarnya diberikan oleh pria tersebut. Adakah yang lebih indah dan lebih berharga dari itu? Pria itu sudah tiada, namun jejaknya masih ada, dan selalu ada, pada buah kasih mereka. Bunga liar itu masih terus ada di hatinya. Dia tidak pernah menyesal. Ini tentang hati, tentang kejujuran, tentang ketulusan. Tak perlu sesuatu yang berkilau. Emak kembali ke masa kini. Yang pertama dilhatnya adalah sepasang tangan saling menggenggam.
“Emak bakal dapat mantu, Emak bakal dapat cucu! La ... la … la …” Buka mata … teriakan tiba-tiba dan loncat-meloncat entah ala suku primitif apa itu nyaris membuat Adit dan Dita terjungkal dari tempat duduk. Segera, ... senyum merekah. Sepasang tangan itu masih saling bertaut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H