Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali atau yang biasa dikenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) merupakan salah satu pembaharu dan maha guru dalam dunia Islam pada khususnya. Ia terlahir di kota Thus, Iran. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk mencari tahu misteri alam ini. Sejak kecil, menjadi remaja hingga akhir hayatnya dipenuhi oleh proses belajar - mengajar lintas studi, maka tak heran jika Al-Ghazali ahli di berbagai macam disiplin ilmu.
Pun pemikiran-pemikirannya tertuang dalam banyak karya, dan salah satu karyanya yang fenomenal di kalangan ulama Indonesia adalahihya’ ‘ulumuddin,berikutnya ada munqid min al-dhalal, tahafut falasifah, dan lain-lain. Al-Ghazali menguasai banyak cabang ilmu, seperti: ilmu fikih (hukum Islam, logika, teologi, filsafat, dan tasawuf.
Al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam, artinya seorang yang memiliki daya ingat dan pandai berargumentasi. Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali banyak menjadi bahan rujukan dan penelitian, baik yang dilakukan oleh para sarjana muslim maupun non muslim. Hal ini disebabkan bahwa pemikirannya memang menarik untuk dikaji, apalagi masih berkaitan dengan isu-isu kontemporer. Sehingga, amal jariahnya akan mengalir terus, karena masih banyak orang yang mencintai karya dan pemikirannya tersebut.
Sore tadi, saya berkunjung ke perpustakaan kampus tempat saya bekerja. Saya menuju rak buku tentang moral dan etika. Maksud hati ingin mencari referensi untuk penulisan naskah yang akan ditulis dan mengirimnya ke jurnal ilmiah, namun begitu buku ini saya pinjam dan pindah ke ruangan, tiba-tiba muncul ide untuk menulis blog yang berkaitan dengan etika dan politik dari pemikiran ulama terkemuka seperti Al-Ghazali.
Al-Ghazali berguru pada Yusuf An-Nassaj dalam bidang tasawuf, dan Juwayni (Imam Al-Haramayn) pada bidang teologi, dialektika, sain keislaman, filsafat serta logika. Meskipun demikian, AL-Ghazali memiliki pola pikir mengikuti pendahulunya Ibn Sina dan Al-Farabi dalam merumuskan kerangka pemikirannya, khususnya dalam bidang politik dan etika.
Al-Ghazali berkeyakinan bahwa manusia sejatinya akan mengalami degradasi moral. Pada kesempatan lain dirinya menegaskan tentang seruannya tersebut,
“... sekarang saya menyeru manusia kepada pengetahuan, yang membuat pengaruh duniawi diabaikan dan dipandang rendah menurut ukuran nilai yang sebenarnya. Inilah sekarang yang merupakan maksud saya, tujuan saya, keinginan saya; Allah tahu akan itu. Adalah cita-cita saya yang paling tulus untuk dapat membuat diri saya sendiri dan orang lain menjadi lebih baik”
Saat kita meresapi dan mencoba melihat lebih dalam dari pesannya tersebut, setiap kalimatnya memiliki makna yang luar biasa dan melintasi masa sejak hari wafatnya hingga detik ini. Apalagi jika disematkan dengan atmosfir politik di negara kita, Indonesia. Perkataannya tak berbedadari sebuah wasiat yang ditujukan kepada siapa saja, serta menjadi tanggung jawab bagi yang membaca dan mendengarnya.
Asas dasar Al-Ghazali membahas etika adalah keinginannya untuk menjadi sosok manusia yang lebih baik dihadapan Tuhannya. Secara pribadi, ia menganggap bahwa kehidupan dunia tiada berarti jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal abadi. Ia juga menamai teori etika yang menjadi gagasannya sebagai ‘ilm thariq al-akhirah atau ilmu jalan akhirat.