Mohon tunggu...
Nurhasanah Munir
Nurhasanah Munir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna

I'm a dreamer and wisdom seeker// Ailurophile// write to contemplate

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Full Day School, Tanda Mendikbud Berpikir Parsial

10 Agustus 2016   11:19 Diperbarui: 13 Juni 2017   13:36 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Full day school (FDS: sekolah sehari penuh) bukanlah wacana baru di dalam dunia pendidikan Indonesia. FDS merupakan sistem pendidikan yang telah lama diadopsi dan diterapkan di berbagai lembaga pendidikan yang tersebar di Indonesia. Mulai dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Sistem FDS terdiri dari beragam kurikulum baik kurikuler dan ekstrakurikuler. Para peserta didik tidak hanya belajar di dalam kelas, namun bisa juga sebaliknya.

Sejarah peradaban dan kebudayaan Islam khususnya, sudah lebih dahulu mewujudkan sistem tersebut yang dikenal sebagai pondok pesantren. Sistem pondok pesantren hampir sama dengan gagasan mengenai full day school, yang menjadi titik pentingnya yaitu dalam miliu pondok pesantren semua penyelenggara pendidikan dan peserta didik (santri) bersinergi dalam melakukan setiap aktifitasnya, karena mereka menetap dalam satu lingkungan atau yang dikenal dengan asrama (pondokan). Tanpa keraguan, sistem pondok pesantren yang diramu oleh para Kyai pendiri secara konsisten dan selama ratusan tahun pula telah membangun peradaban yang mempunyai kekhasan sendiri di tanah air kita.

Begitu banyak reaksi yang diperlihatkan oleh masyarakat terkait ide sang menteri dalam menerapkan sistem FDS secara nasional. Dari yang saya amati kebanyakan masyarakat, yang terutama kaum ibu dengan tegas menolak dengan berbagai macam alasan, diantaranya: anak-anak tidak lagi dapat bersosialisasi di lingkungan rumah, memberatkan beban psikis dan mental anak, pekerjaan orang tua yang tidak bisa ditinggalkan demi menjemput sang buah hati, dan seterusnya.

Masih jelas tergiang di telinga kita tentang “Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah” yang digagas oleh Mendikbud sebelumnya. Gerakan tersebut telah banyak mendapat dukungan positif dari masyarakat luas. Namun beda halnya dengan wacana full day school al Mendikbud baru. Lantas apakah gerakan full day school nasional juga sebagai wujud dari aksi seorang menteri dalam menjalankan program-program kerja? – saya seringkali bertanya-tanya; apakah harus seorang menteri yang baru dilantik melaksanakan wacana dan ide baru pula yang pada hakikatnya sudah terimplementasi di sejumlah sekolah.

Katakan saja jika Mendikbud yang sekarang sedang berwacana dan sukses membuat kegalauan di kalangan orangtua serta para pendidik. Saya juga seorang pendidik yang pernah mengajar di pondok pesantren dan sekolah umum (dari tingkat Paud sampai madrasah Aliyah), saya dengan yakin menyatakan bahwa tidak ada sedikitpun rasa ingin mengeluh dari para guru untuk mendidik siswa-siswinya. Dan tidak ada seorangpun orangtua yang ingin “terpisah” lama dari anak-anaknya, sehingga interaksi orangtua – anak – saudaranya harus dikalahkan dengan sebuah sistem yang belum jelas akar manfaatnya.

Menurut hemat saya, Mendikbud beserta para pemangku kebijakan seharusnya melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap program-program di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan; adakah program-program tersebut sudah berjalan dengan baik dan tepat sasaran? Ataukah program-program itu perlu dikaji kembali?

Janganlah pemerintah membebani masyarakat dengan wacana absurd dan multitafsir, sehingga berdampak pada turunnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan pemimpin negeri ini! – Tidak ada yang salah dengan wacana, yang salah adalah cara berpikir yang spontan dan parsial, ibarat bola yang bergerak terus tanpa henti, seperti itulah yang terjadi pada diri masyarakat.

Sepertinya Mendikbud tidak komprehensif untuk mencetuskan sebuah ide, atau dengan kata lain tanpa mengkaji dan bermusyawarah, padahal jika saja mau  menjadikan nilai-nilai dalam ajaran Pancasila diterapkan. Sungguh Mendikbud akan bisa berpikir lebih jernih dan lebih luas lagi, karena Indonesia bukan hanya terdiri dari kota-kota besar, tetapi ada daerah pedalaman, pesisir, pegunungan, yang kita seringkali melihat anak-anak bersekolah menempuh waktu perjalanan dengan berjalan kaki atau menaiki perahu beberapa jam.

Nah, apakah fenomena yang terjadi di negara kita tersebut sudah dipertimbangkan dengan masak? Apakah kenyataan pahit itu sudah dipikir melalui akal sehat? Apakah Mendikbud juga sempat memikirkan para orangtua harus merelakan sang anak belajardalam waktu yang lebih lama? Dan Apakah Mendikbud juga memikirkan kebutuhan para pendidik yang wajib menjalankan tugas dengan memberikan waktu kepada anak-anak didik sementara ia mempunya kewajiban dan tanggung jawab yang sama besar di rumah?

Saya sebagai satu dari sekian ratus juta penduduk di Indonesia menyatakan bahwa ide, wacana tentang sekolah sehari penuh atau apapun namanya sangat tidak efektif bagi tumbuh-kembang usia anak-anak sampai remaja. Biarkan mereka berkembang mengikuti hukum alam bukan hukum atau kebijakan nihil yang berindikasi hanya coba-coba.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun