Mohon tunggu...
Nurhasanah Munir
Nurhasanah Munir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna

I'm a dreamer and wisdom seeker// Ailurophile// write to contemplate

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Menikmati Kopi ala Santri

23 April 2016   12:05 Diperbarui: 23 April 2016   12:10 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="dok.pri | Kopi sebagai teman"][/caption]Mengapa saya mengambil judul ini? Karena saya pernah menjadi santri kurang lebih 10 tahun mengarungi kehidupan di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Putri Ngawi Jawa Timur. Jiwa saya akan selalu menjadi jiwa santri hingga saat ini, pun petuah-petuah Kyai Gontor dan guru-guru saya selalu menemani keseharian saya. Saya pun begitu mencintai dunia santri, karena bagi saya, dunia santri penuh dengan suka dan duka, kreatifitas, inovasi, dan penuh gelak tawa jika setiap memori dapat diputar kembali. Rasa hormat dan cinta yang takzim untuk guru-guru saya yang sangat luar biasa selama menyantri, menjadikan saya pribadi yang selalu rindu akan nasihat-nasihat beliau. Kehidupan di pondok pesantren begitu sangat mengesankan, dan saya bangga dengan predikat santri.

Saya sudah lama mengenal kopi, namun yang menarik adalah kapan saya menikmati ciptaan Tuhan yang sedap itu? Saya menjadi salah satu penikmat kopi sekitar tahun 2001, lebih tepatnya tahun ketiga saya menyantri. Pada awalnya, saya hanya mengikuti teman-teman yang lain, mereka berdalih bahwa kopi dapat membantu mereka untuk belajar hingga larut malam. Saya pun penasaran, saya ikut membelinya di koperasi pondok. Meskipun kopi instan, tapi buat kami yang santri, kopi termasuk salah satu minuman yang paling istimewa, selain es teh atau es sirup yang dibuat didalam ember yang besar dan dalam persis dikonsumsi selesai mengikuti kegiatan pramuka, catatannya adalah eksperimen tersebut tidak membuat kami merasa canggung dan mual. Kami merasa hal itu sangatlah indah dan hebat.

Kopi memiliki daya tarik tertentu, karena seingat saya, kopi hanya diminum oleh santri-santri yang senior, seperti tahun ketiga, keempat, dan seterusnya. Memang betul apa yang dikatakan teman-teman saya bahwa kopi mampu membantu kita terjaga saat malam hingga dini hari untuk belajar, namun efeknya, kami jadi kekurangan waktu untuk tidur dalam waktu yang ideal. Jika sudah demikian, biasanya kami mencuri waktu untuk sekedar “tidur ayam” (merem melek. red) di dalam kelas. Jika para ustadz dan ustadzah sudah masuk ke kelas untuk mulai kegiatang belajar mengajar, teman-teman yang terjaga dengan setia membangunkan yang tertidur.

Kopi instan creamer yang saya minum saat menjadi santri merupakan salah satu kopi instan yang paling populer hingga saat ini, karena saya masih mengkonsumsinya. Selain kopi instan “ala kafe” itu, saya juga mencoba kopi instan yang hitam, rasanya juga nikmat dan sedap. Namun, bagi banyak orang kopi nikmat itu ya kopi “asli”, yang artinya kopi racikan sendiri, kopi yang melalui serangkaian proses tradisional. Indonesia salah satu negeri yang kaya rasa akan kopi, di banyak daerah memiliki kopi-kopi yang khas, sebut saja kopi gayo dari Aceh, kopi lelet dari Rembang, kopi Toraja, kopi Bojonegoro, kopi Bali, kopi Madura, kopi Flores, dan masih banyak lagi. Pada umumnya kopi-kopi di Indonesia merupakan jenis kopi Arabica dan Robusta. Setiap kopi memiliki cita rasa yang berbeda, begitulah sejatinya bangsa kita. Kita berasal dari suku, agama dan ras yang berbeda-beda, tapi dengan secangkir kopi kita menjadi saudara, dengan secangkir kopi kita saling mengenal, dengan secangkir kopi kita saling menyayangi, dan dengan secangkir kopi kita bisa belajar menghargai perbedaan.

Dalam kehidupan santri, kami berkumpul dalam satu naungan yang disebut pondok laksana ibu kandung. Kami datang dari berbagai daerah di Indonesia, dan ada pula yang berasal dari luar negeri, seperti beberapa adik kelas dan murid semata wayang saya dahulu. Saya pikir, dengan mengilhami seteguk kopi saja, kita bisa menyebarkan kebaikan, meskipun terlihat sepele, kecil dan sederhana  di mata orang lain. Seulas senyuman di wajah, dapat mengubah hari menjadi lebih indah dan damai. Senyuman tulus karena efek kopi dapat menyampaikan pesan meski tak bersuara.

Hari-hari saya sekarang masih juga ditemani kopi, bagi sebagian orang minum kopi adalah bagian dari gaya hidup, bagi sebagian yang lain minum kopi adalah kebutuhan, dan sebagiannya yang lain minum kopi adalah tradisi turun temurun. Kopi lagi, kopi lagi! Nikmatnya tak habis-habis. Andai saja mereka yang berseteru dapat damai dengan duduk bersama sambil minum kopi, mereka yang patah hati dapat menyembuhkan luka dengan minum kopi, mereka yang saling rindu dapat minum kopi bersama meskipun dibantu dengan teknologi “video call”, mereka yang berbahagia pun tak lepas dari kopi. Ada satu hal yang membuat saya bertanya-tanya, kok bisa ya ada yang masih tidak suka minum kopi?

Setelah merampungkan studi master saya beberapa bulan lalu, saya ditunjuk untuk menjadi asisten dosen pembimbing saya dalam bidang riset di salah satu sekolah tinggi filsafat Islam di Jakarta. Bagi saya, pengalaman ini begitu luar biasa, ada banyak hal yang belum bisa dipenuhi saat menjadi mahasiswa dulu, saya pun masih bisa berdiskusi secara leluasa dengan dosen pembimbing saya itu. Dunia kerja dan penelitian khususnya, juga menuntut kita untuk menjadi enerjik dan kaya akan ide-ide, di titik inilah saya membutuhkan kopi untuk menjadi mood booster. Saya tidak sedang mengkultuskan kopi, tapi saya sedang mengekspresikan kedekatan saya dengan kopi. Kopi seperti kekasih bagi saya, karena begitu dekatnya, sampai tak ingin lama-lama terpisah. Biasanya saya minum kopi maksimal dua kali dalam sehari, lebih dari itu sepertinya belum pernah.

Saya berasumsi bahwa salah satu kekuatan saya dalam beraktifitas adalah kopi, tentunya selain air putih dan yang lainnya. Saya tidak membatasi kopi-kopi apa saja yang saya konsumsi ataupun tidak, selama kopi-kopi tersebut aman bagi lambung saya. Setiap hari saya melihat para staf mengkonsumsi kopi, bahkan ada yang pagi hari sekali sebelum ia duduk di kursi kerja. Saya perhatikan, ternyata ada yang lebih candu dari saya, dan bisa jadi lebih banyak dari yang bisa saya bayangkan. Tak heran, area pentry lebih sibuk jika memasuki jam tengah hari, bisa dilihat sendiri bahwa para staf juga berburu kopi disana. Kemalangan buat mereka adalah saat mereka menemukan toples kopi dan creamer yang kosong, hehehe. Hal ini menandai bahwa keduanya sudah habis atau disembunyikan oleh kepala pentry. Fenomena ini tidak menganggu saya sama sekali, saya bahkan nyaris selalu menyediakan kopi di tas saya sendiri. Secara sukarela saya juga memberikannya kepada beberapa orang staf yang membutuhkan kopi, atau jika persediaan kopi benar-benar habis, disaat itu juga saya merogoh isi tas dan mengeluarkan beberapa sachet kopi untuk sajian meeting.

Oleh karena itu, suasana kerja harus dinamis dan kondusif, kita menjaga hubungan kerja dengan berbagai pihak. Secangkir kopi dapat menaklukkan hati yang keras, secangkir kopi dapat melembutkan sikap yang kasar, secangkir kopi berperan untuk mengubah suasana kaku menjadi hangat dan bersahabat. Seorang staf tidak dapat berbuat semaunya karena ia membutuhkan pelayanan berupa secangkir kopi! Saya mempelajarinya setiap hari, entah di rumah atau di kantor (kampus).

Saya kurang tahu, sampai kapan kata “santri” masih bisa melekat dalam diri saya, tapi inilah saya, seorang santri pemimpi yang hidupnya tak jauh dari kata-kata bijak para sufi, filsuf, atau orang-orang berpengaruh lainnya, yang hanya membaca dan merenungi kata-kata mereka sambil menyeruput kopi bisa membangkitkan semangat penuh ide. Saya pribadi yang menyukai untuk menjalin pertemanan baru, khususnya dengan orang-orang yang menginsipirasi saya, saya juga suka jalan-jalan meskipun baru 0 % destinasi yang saya kunjungi dari seluruh wilayah Indonesia, saya juga penikmat photography dan beberapa tokoh kartun serta film animasi seperti The Pooh, The Snow White, Upin Ipin, dan lain-lain. Ini bukan kalimat terakhir bagi saya; manusia yang bisa menikmati kopi dengan penuh semangat adalah manusia yang paling berbahagia, anda setuju?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun