Mohon tunggu...
una anshari
una anshari Mohon Tunggu... Freelancer - Melihat, Merasakan, Menulis dan Membagikan

Traveller yang selalu berharap dapat mengambil hikmah dalam perjalanan untuk ditulis dan disharekan. Berbagi itu indah :)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Pemburu Kuis hingga Pejuang Kompetisi Blog, Profesi Menjanjikan Era Digital

25 Januari 2019   00:37 Diperbarui: 25 Januari 2019   08:07 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua puluh sembilan bulan lalu,

Adalah bulan yang sangat berat untukku.

Padahal, beberapa minggu sebelumnya, hati membuncah bahagia karena pekerjaan impian kudapatkan setelah menunggu 4 tahun pasca menjadi sarjana.

Betapa kebahagian dan kesedihan selalu datang silih berganti dalam kehidupan ini. Jika hari ini bahagia kita rasakan, bersyukur, jangan jumawa. Begitu pun ketika kesedihan menyapa, jangan khawatir, akan ada kabar gembira setelahnya.

Agustus 2016

Dua puluh Sembilan bulan lalu, aku mendapat kabar bahwa Ibuku terkena serangan stroke disebabkan jantung dan hipertensi. 

Mungkin, bagi sebagian orang kabar itu tidak mengejutkan, jika saja Ayah kalian tidak mengalami sakit yang sama. Saat kejadian Umi terkena stroke, Buyaku sudah terlebih dahulu menjadi pasien stroke sejak dua tahun sebelumnya, maret 2014. Maka, ketika mendengar kabar tersebut, aku lemas sejadi-jadinya.

Ibuku berdomisili di Medan, sedangkan kejadian berlangsung di Jakarta ketika beliau sedang mengunjungi kakak keduaku. Hari itu juga, aku yang sedang di berada di Medan mengambil tiket penerbangan terakhir.

Air mata terus tumpah. Untuk menutupinya aku terus menggunakan kacamata hitam selama di bandara dan pesawat. Demi kesehatan Buya agar tidak drop, maka kami memilih merahasiakan kondisi Umi.

Selama penerbangan, aku terus berpikir bagaimana mungkin kedua orangtuaku kompak terkena stroke. Tidak cukupkah hanya Buya yang diuji? bahkan Buya pun belum sembuh setelah dua tahun berobat kemana-mana. 

Cepat aku istighfar dan mengingatkan diri bahwa tidak ada kehidupan tanpa mengalami ujian. Bahkan hidup di dunia ini pun hanya tempat ujian, menentukan akan kemana kita setelah mati, masuk Surga atau Neraka.

Sehari setelah sadar, Umi tidak mengenali kami walau tetap menerima suapan yang kami berikan. Ada tangan tak kasat mata yang membuat hati perih. Detik itu, aku berjanji tidak akan meninggalkannya. 

Bagaimana mungkin aku tega, mengingat apa yang telah dilakukannya bagi kami anak anaknya sejak kecil hingga sekarang.

Waktu berlalu, berbagai pengobatan sudah dicoba, dari dokter ke herbal ataupun alternatif. Apa pun yang disarankan orang kami datang. Akan tetapi Umi tidak kunjung sembuh, masih belum bisa berjalan dan berbicara yang jelas. Memang, kesembuhan setiap orang berbeda, mutlak dari sang maha Kuasa.

Mari beralih dari cerita tentang Ibuku.

Jiwa yang Memberontak

Setahun setelah tidak kemana-mana dan menutup segala akses ke luar, aku mulai merasa tidak betah. Tapi meninggalkan Umi untuk kembali ke Jakarta tidak tega.

Kehidupanku sejak kuliah sudah ada di gemerlap ibukota, tinggal kembali di kampung halaman dengan rutinitas rumah-rumah sakit - tempat terapi nyatanya sangat menjemukan.

Apalagi para tetangga mulai nyinyir dengan mengatakan "Sekarang Nggak kerja?" "Una ngapain di Medan?" yang kalau aku sedang dalam mood sabar, maka kujelaskan kalau menjaga orangtua sakit lebih mulia dibanding aku bekerja dengan membiarkan Umi ku dirawat oleh orang lain. 

Akhir 2017 aku minta izin untuk pergi ke Ibukota barang beberapa hari, menemui mentorku, seorang writerpreuner pendiri sebuah komunitas menulis bernama women script community berbasis online di sosial media facebook.

Olehnya, aku diajak untuk mengikuti kelas menulis artikel dan kisah inspiratif yang akan diterbitkan dalam bentuk antologi.

Ketika pulang kembali ke Medan, aku merasa jiwa ku telah kembali. 

"Ternyata, caraku menyikapi 'berbakti  pada Ibu' di awal salah, tidak seharusnya aku menutup akses terhadap hobi kalau menjaga Umi dan menulis bisa berjalan beriringan."

Program yang ku ikuti dengan bimbingan Mentor mulai terlihat hasilnya. Pada april 2018 buku antologi ku akhirnya bisa terbit. Aku kembali terbang ke ibukota untuk menghadiri launching antologi di perpusnas. 

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Pemburu Kuis

Sudah sejak lama aku memiliki blog, semasa kuliah beberapa tahun lalu. Isinya hanya curhatan berupa kejadian yang kualami dan juga uneg-uneg yang tidak bisa disampaikan. Sudah berisi curhatan, tidak rutin pula, mau dibawa kemana blog ini? Maka, pelan-pelan blog ini terlupakan.

Selama 2018, setelah antologi terbit, kusadari keinginan menulis kembali lagi. Tapi entah mengapa belum ada keinginan untuk mengunjungi blog yang berdebu itu. Aku lebih memilih menulis caption panjang di facebook dan instagram bahkan pernah membuat akun dakwah di instagram bersama teman-teman.

Di tengah-tengah menulis untuk proyek antologi selanjutnya, aku iseng iseng mengikuti giveaway. Awalnya hanya mengikuti yang berhadiah buku saja, mulai dari menjawab pertanyaan hingga membuat resensi dan Alhamdulillah beberapa kali mendapat paket buku dari penerbit.

Suatu hari aku mengikuti lomba review film yang tayang di bioskop berhadiah uang tunai, dan menang.  

Berhasil dalam sesuatu tentu saja akan membuat ketagihan. Mulailah aku mengikuti akun-akun pemburu kuis dan juga tagar giveaway Indonesia. Dari sana, aku tahu bahwa brand brand produk sering mengadakan kuis. Sudah dapat ditebak bukan? Beberapa kali aku menang mendapatkan hadiah uang tunai dan juga voucher belanja.

"Hal ini membuktikan bahwa era digital, melalui gawai saja, bisa menghasilkan pundi pundi rupiah."


Menjelang akhir tahun, kuis kuis dari Brand produk sudah mulai jarang. Beberapa yang masih berlangsung hanya mengandalkan komentar dan pemenang dipilih secara acak. Untuk hal yang berbau acak, aku kerap tidak beruntung. Dari situ, aku menyadari bahwa sebenarnya semua kuis yang aku ikuti selama ini mengandalkan kemampuan menulis. 

Memulai Kompetisi dari Kompasiana

Ketika kita mengikuti suatu akun dan tagar di instagram, maka akun senada akan muncul dalam feed, eksplore dan story Instagram. 

Suatu hari, di bulan november 2018 info lomba menuli dari sebuah akun aplikasi tiket dengan tema menjelajahi Indonesia masuk ke beranda Instagram ku. Kompetisi ini bekerjasama dengan platform Kompasiana. 

Berhubung beberapa daerah cantik di Indonesia sudah ku kunjungi, aku berniat untuk mengikuti. 

Setelah diingat-ingat, aku pun sudah pernah membuat akun di kompasiana yang lagi-lagi bernasib sama dengan blog. Daftar dan tinggalkan, bahkan tidak pernah menulis sekalipun sejak didaftarkan.

Bismillah ikutan dan ternyata gagal. Bukannya kapok aku malah penasaran untuk terus ikut sembari memantau event di Kompasiana. 

Saat sedang tidak ada kompetisi blog di kompasiana, aku membaca sebuah postingan instagram seorang penulis wanita yang aku ikuti, beliau juga seorang blogger. Postingan tersebut berisi rasa syukurnya. 

Ia menceritakan selama ngeblog, banyak sekali manfaat yang diterimanya mulai dari job menulis artikel, uang tunai, voucher belanja hingga traveling gratis sekaligus voucher menginap di hotel mewah.

Membaca kata traveling gratis, aku langsung mikir "Kok aku nggak kepikiran menjadi seorang blogger ya."  

Setelah menjadi pemburu kuis, mengikuti event Kompasiana, keinginan mengikuti lomba blog perlahan muncul. Maka bertambah lah Tagar yang diikuti yaitu lomba blog.

Kompetisi Blog Nodi Sesuatu Banget

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Setelah megikuti tagar #lombablog semangatku kembali menyala karena begitu banyak informasi yang muncul. 

Sayangnya setiap kubuka link lomba, ada saja syarat yang membuatku tidak bisa mengikuti. Mulai dari syarat batas minimal tayangan artikel di blog, update minimal sebulan terakhir, serta ketidakpunyaan merk  gawai tertentu yang sedang diadakan  lomba review produk. 

Saat rajin mengikuti kuis, produk makanan atau sabun bisa dibeli, bagaimana dengan produk ponsel dan laptop? Maka, lagi-lagi perlombaan itu terlewatkan. 

Sampai akhirnya bertemu tagar kompetisi blog yang mengarah ke akun blogger kece. Syaratnya tidak ada yang memberatkan. Seakan-akan kompetisi blog nodi ini jawaban dari doaku, hehehe. 

Bukan hanya itu, membaca blog bang Nodi beserta prestasinya aku hanya bisa berdecak kagum. Kompetisi yang diikutinya adalah tema berat menurutku. 

Menyapa sambil memberi selamat atas prestasinya sebagai Narablog ia mengatakan bahwa kompetisi yang kalah jauh lebih banyak daripada yang ia menangkan. Seketika aku sadar bahwa kompetisi yang aku ikuti di Kompasiana belum ada setengahnya.

Beranjak ke akun para juri lebih membuatku melongo karena prestasinya. 

Setelah berselancar, menemukan artikel yang asyik dibaca dengan bahasa lugas dan mengalir, tidak heran kalau bang Joe Chandra banyak memenangkan lomba dan mendapatkan job review.

Tapi ketika melihat juri yang merupakan seorang Kompasioner, rasa takut muncul kalau-kalau tulisanku di lomba ini banyak typo dan bahasa yang tidak baku, hehe. Mengapa ku katakan begitu? Setelah kepo dengan akun Pak Khrisna Pabichara aku sangat mengapresiasi perhatian dan kecintaannya terhadap bahasa Indonesia. Bahkan kata pre-order yang lazim digunakan sekarang ini, beliau lebih memilih menggunakan kata pra pesan.

Tiba di media sosial Juri terakhir, mbak Nabilladp aku terserang rasa iri melihat beliau mendapatkan rezeki traveling ke negara impianku, Turki yang didapat dari sebuah kompetisi. Berharap keberuntungan itu suatu saat menghampiriku juga.

Selain itu, aku juga menjelajahi blog teman-teman yang mengikuti kompetisi. Rasanya tulisanku tidak ada apa apanya dibandingkan teman teman lain.

Dari satu blog ke blog lain, akhirnya aku nyasar ke laman seorang blogger asal Kebumen yang juga sering mengikuti kompetisi. 

Dalam artikel "agar menang lomba blog" aku meringis ketika menyadari bahwa belum semua langkah di dalam blog tersebut ku lakukan. 

Tapi, kalah dan menang soal kedua. Paling tidak sejak mengetahui kompetisi blog Nodi ini aku jadi tahu para blogger yang sudah malang melintang. 

Pun, menyadari bahwa duduk di depan laptop dan ponsel di genggaman sudah bisa menghasilkan di era digital ini.

Dan sebagai Narablog pemula aku sangat sangat teracuni.

2019 menjadi blogger profesional

Harapan menjadi blogger profesional di tahun 2019 ini muncul seiring perjalanan hidupku sejak dua puluh sembilan bulan lalu. Untuk itu, maafkan aku wahai para juri, jika artikel ini sarat akan curhatan, hehe. 

Selama dua tahun menemani orangtua berobat, banyak sekali pengalaman yang satu persatu bisa dijadikan sebuah artikel yang bermanfaat.

Menjumpai berbagai macam tipe dokter, mengetahui berbagai macam penyakit selama bolak balik ke rumah sakit, bertemu sesama pasien stroke di tempat terapi, belum lagi bertemu banyak sekali cerits sopir selama menggunakan transportasi online.

Sepertinya tema untuk blog profesionalku nanti "segala sesuatu tentang stroke" sangat menarik. Syukur-syukur menjadi blog rujukan.

Semoga harapanku menjadi blogger yang menghasilkan terlaksana agar tetap bisa mendampingi orangtua.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Salam hangat dari Umi dan aku yang siap menjadi pejuang kompetisi blog. 

Demi mengasah kualitas diri dan mendapatkan banyak relasi demi tercapai nya profesi menjanjikan di era digital.

***

Artikel ini diikutkan dalam kompetisi blog nodi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Hantu Pocong Lembang, Hiburan Siang di Jalan Macet!

5 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun