Istilah culture shock yang diperkenalkan oleh Oberg digambarkan sebagai respon negatif seseorang fisik maupun psikis (khawatir, putus asa, ketakutan, disorientasi, frustasi dan galau) terhadap perpindahan lingkungan budaya atau peran baru. Mengenai topik culture shock dalam tulisan ini lebih fokus kepada perpindahan peran baru yang terjadi pada pengantin baru khususnya dari sudut pandang perempuan berdasarkan pengalaman saya.
Saya dan suami memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Saya bertumbuh dan berkembang di kawasan perkotaan, sedangkan suami bisa dibilang orang desa. Perbedaan ini cukup membuat saya merasa takut dan khawatir jika tidak mampu menyesuaikan diri dengan tradisi, kebiasaan dan pola aktivitas di keluarga suami. Satu bulan menikah jadi masa terberat saya.Â
Apalagi, hampir tiap minggu saya berkunjung dan menginap di rumah suami. Banyak tradisi dan kebiasaan yang berbeda, meskipun kami sama-sama berasal dari Provisi Jawa Tengah hanya berbeda Kabupaten.
Paling tidak ada empat dari enam aspek negatif yang saya rasakan akibat dari culture shock; Pertama, stress karena harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.Â
Kedua, rasa kehilangan terhadap status dan peran terdahulu. Ketiga, kecemasan dan penolakan terhadap cara hidup baru. Keempat, perasaan tidak berdaya dan percaya diri mampu bertahan dengan baik di lingkungan baru. Keempat aspek negatif ini tanpa disadari memicu saya mengalami kesedihan dan kehilangan yang mendalam atau sering diistilahkan dengan post-wedding blues.
Sindrom ini membuat saya terus mengalami kebingungan sebab situasi, aktivitas, dan kebiasaan yang mendadak berubah secara drastis. Sebelum menikah, peran saya hanya sebagai anak dari seorang bapak dengan aktivitas belajar. Finansial dan kebutuhan dipenuhi oleh bapak, pekerjaan rumah tangga diselesaikan oleh asisten rumah tangga.Â
Sedangkan, setelah menikah situasi berubah drastis saya harus menyelesaikan pekerjaan rumah, mengatur keuangan, merawat suami, beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan baru.
Terkenanya sindrom ini membuat mood saya naik turun, mudah marah, sensitif, sering menangis sampai memiliki pikiran bahwa keputusan saya untuk menikah menjadi keputusan yang buruk.Â
Namun, berjalannya waktu diiringi dengan perbaikan komunikasi dengan suami membuat sindrom ini tidak semakin parah. Permasalahan ini mengajarkan saya bahwa komunikasi dalam hubungan sangat penting.Â
Terkadang apa yang kita persepsikan atau asumsikan nyatanya bertolak belakang dengan realita. Kerapkali pikiran dan perasaan kita terlalu bising sampai mudah memutuskan tanpa ada klarifikasi dan komunikasi. Jadi, inilah sekilas kisah penting di awal pernikahan saya. Lalu, apa kisah mu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H