Mohon tunggu...
UMU NISARISTIANA
UMU NISARISTIANA Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

umunisaristiana26@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tiga Langkah Menghindari Ilmu yang Mubazir di Era Keterbukaan Informasi

23 April 2021   10:09 Diperbarui: 23 April 2021   10:14 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

80 persen penggunaan internet di ponsel digunakan untuk mengakses sosial media inilah gambaran perilaku internet masyarakat Indonesia yang ditangkap oleh We Are Social dan Hootsuite pada tahun 2020. Salah satu hal yang paling menarik dari sosial media adalah kecepatan pertukaran informasi. Bahkan saat ini informasi dari instansi, lembaga dan komunitas lebih banyak dipublikasikan melalui akun sosial media daripada website resmi mereka. Hal ini semakin menegaskan bahwa keberadaan sosial media membuka peluang lebar terhadap kebanjiran informasi.

Hal ini memiliki nilai positif, dimana status sosial tidak lagi menjadi persoalan dalam mendapatkan sumber informasi. Siapa saja -- kapan saja -- dimana saja seseorang mampu memperoleh informasi dengan cepat, mudah dan murah. Namun, ada satu hal yang membuat saya secara pribadi mempertanyakan "Mengapa kemudahan akses informasi tidak mampu meminimalisir munculnya permasalahan baru malah justru sebaliknya". Seperti contoh; sudah banyak informasi mengenai bahayanya plastik di ruang online bahkan beberapa kali sempat menjadi sebuah gerakan #gerakantanpakantongplastik dan disetujui oleh banyak netizen. Namun, sampai detik ini, permasalahan plastik masih saja terjadi di sekitar kita.

Situasi inilah yang saya anggap sebagai ilmu yang mubazir. Jika sebutan orang pintar adalah orang yang tau banyak hal. Maka saat ini dengan adanya keterbukaan informasi hampir seluruh masyarakat sudah tergolong sebagai orang pintar. Namun nyatanya, banyaknya orang pintar tidak berbanding lurus dengan minimnya permasalahan malah justru sebaliknya. Mungkin sebab terlalu banyak orang pintar menimbulkan semakin banyak ego yang harus dituruti, hal inilah yang menimbulkan banyak permasalahan baru.

Belum lagi, banyak masyarakat saat ini mengalami apa yang disebut sebagai FOMO (Fear of Missing Out) dimana masyarakat takut tertinggal informasi yang sedang popular atau viral di sosial media. Ketakutan ini menjadikan seseorang cenderung mengikuti dan mengkonsumsi banyak informasi tanpa tau manfaat dari informasi tersebut bagi perkembangan diri. Hal ini membuat banyak informasi berhenti sampai pada tingkat sekedar tau, tetapi tidak begitu dipahami apalagi sampai pada tingkat aksi. Perdiksi abal-abal saya, jika hal ini terus berlangsung bisa jadi adanya keterbukaan informasi bukan malah membuat dunia semakin modern tetapi justru semakin mundur kebelakang.

Untuk itu perlu adanya arus balik dimana perilaku konsumsi masyarakat di ruang maya harus benar-benar diperbaiki dengan cara; Pertama, ketahui dulu tujuan mengakses internet. Mengetahui tujuan mengakses internet, khususnya sosial media memberikan gambaran kepada seseorang untuk lebih sadar dalam mengontrol aktivitas di ruang online mereka. Banyak orang yang tidak memiliki tujuan pasti dalam bermain sosial media mereka hanya ikut-ikutan saja. Dibilang untuk berkomunikasi tidak juga sebab jarang bertanya kabar dengan teman onlinenya, Dibilang untuk memperoleh informasi, juga tidak sebab apa yang dibaca hanya dari satu sudut pandang. Mengatur kembali tujuan mengakses internet menjadi penting dilakukan agar waktu yang kita pertaruhkan selama bermain sosial media tidak terbuang percuma, setidaknya aktivitas yang kita lakukan di sosial media memberi dampak positif terhadap perkembangan koginitf, afektif dan psikomotorik.

Kedua, melakukan filter informasi. Dengan mengetahui tujuan mengakses internet khususnya sosial media, aktivitas filter informasi sudah semestinya tidak begitu sulit. Keleluasaan peran netizen sebagai produsen dan konsumen informasi membuat semakin beragam informasi yang ada di sosial media. Bahkan ada studi mengatakan arus informasi di internet membentuk sebuah kepakaran baru, dimana orang awam bisa terlihat layaknya seorang pakar dan sebaliknya. Situasi ini otomatis membuat semakin jelas bahwa tidak semua informasi di sosial media valid dan benar. Banyak informasi yang bersifat disinformatif, dan sudah semestinya netizen semakin cerdas dan cermat dalam melakukan filter informasi. Upayakan apa yang diproduksi dan konsumsi di ruang online adalah sebuah kebenaran yang sifatnya positif bukan hanya bagi diri sendiri namun juga orang lain.

Ketiga, berkomitmen melakukan aksi. Untuk apa kita tau segalanya, tetapi pengetahuan itu tidak mampu menciptakan apa-apa. Setiap orang yang berpengetahuan memiliki kewajiban untuk merefleksikan pengetahuan tersebut menjadi sebuah aksi. Jangan sampai pengetahuan yang didapat mubazir atau terbuang percuma sedangkan kita masih stagnan perkembangannya. Jika keberadaan internet disyukuri dan dimanfaatkan dengan baik maka tidak mustahil untuk mencapai peradaban manusia yang lebih seimbang.

Jadi, sudah berapa banyak pengetahuanmu yang diubah menjadi aksi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun