Senandung Sang Kuli
Oleh : Umu Fatimiah
Menata puing-puing mimpi dengan high salary
di bangku, mengenyam ilmu.
Asaku tak terbeli.
Aku biasa berlari di antara deru kokok ayam pertama bunyi
Pagi buta hari, mengejar mentari.
Aku terbiasa menarikan jemari di antara dinginnya hujan
atau teriknya mentari.
Saat-saat indah mengabdikan diri, menata sebuah maha karya menjulang tinggi.
Saat deskripsi alam silih berganti, manapaki jalan sebagai seorang kuli.
Aku bahkan sudah terbiasa berada dalam kondisi terbawah,
bahkan ketika kecil menyambangi.
Terlatih dan teliti, dalam menghadapi rintangan hidup,
Silih berganti.
Bangku pendidikan tak berarti jika bergelar kuli.
Dapur seolah mati suri, tanpa kuatnya ekonomi.
Untuk menyambung hidup, banyak yang ingin alih profesi.
Sekali lagi, pendidikan menyombongkan diri
Menertawai sang pemimpi.
*Di belakang tembok ratapan dunia.
Perantau
Oleh : Umu Fatimiah
Tak nampak kebajikan sejati
Tak ada kebohongan hakiki.
Awal menginjakan kaki, masih di bumi pertiwi
untuk mengais rezeki.
Aku berkelana, dalam belantara rimba
Ini semua untuk kata “layak”.
Dalam kegelapan rintik hujan, mencari seberkas cahaya harapan
di setiap langkah kaki berjalan.
Rindu kutahan,
Waktu seakan begitu berharga bersamamu cinta….
Resah kupendam,
Tak ada melodi terbaik selain melodi cinta berbalut kasih.
Ini semua untuk kata “layak”.
Inilah hidup sayang,
Diburu atau memburu…
Mencari arti untuk sebuah nama “Kelayakan Manusia”.
Karena hanya pemalaslah yang senantiasa berteman dengan kemiskinan.
Dan ketika sampai di penghujung jalan,
Tak ada hari yang lebih indah, selain ketika pulang.
*Di antara hingar bingar perjuangan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI