DR. Ahmad Basri, M.Si menuliskan, pesantren merupakan lembaga sekaligus sistem pendidikan tertua di Indonesia. Beberapa sejarawan ada yang menyebut, pesantren telah ada pada zaman Wali Songo. Bahkan ketika menginjakkan kakinya di Demak Jawa Tengah, yang pertama kali dilakukan Raden Fatah bukan mendirikan kerajaan, melainkan membangun lembaga pendidikan dengan sistem sebagaimana layaknya pesantren. Dalam perkembangannya, tentu saja banyak hal baru yang dilakukan oleh pesantren. Saat ini misalnya, hampir semua pesantren mempunyai madrasah. Madrasah mempunyai pola pendidikan yang mirip dengan sekolah. Karenanya, perlu dilakukan upaya yang sistematik untuk mempertahankan, membangkitkan dan mengembangkan pesantren sebagai sistem pendidikan.
Masih menurut DR. Ahmad Basri, M.Si, dalam berbagai kesempatan, KH. Sahal Mahfudh (Mantan Rais Amm PBNU dan Ketua Umum MUI) selalu menggarisbawahi perlunya memperjuangkan pesantren tidak sekedar diakui sebagai lembaga pendidikan, tetapi sebagai sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang beliau maksud adalah seluruh komponen pendidikan pesantren yang saling terkait terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan pesantren. Upaya perumusan sistem, pertama-tama dilakukan dengan mengidentifikasi tradisi dan nilai-nilai yang berlaku di pesantren. Apabila sistem pendidikan pesantren ini telah dirumuskan dan diaplikasikan dengan baik, maka pesantren tidak lagi terombang-ambing dan didominasi oleh dinamika madrasah yang nota bene anak kandungnya sendiri. Tetapi justru bisa memberi kontribusi terhadap peningkatan madrasah sekaligus bisa berkembang sebagai sistem pendidikan alternatif.
Maka untuk itu, pesantren bukan lagi tempat bagi orang-orang yang menuntut ilmu agama semata, melainkan juga bisa memberikan pendidikan-pendidikan umum seperti sekolah pada umumnya. Ditambah lagi dengan adanya pesantren dengan model boarding school yang cukup menyita perhatian masyarakat terhadap pesantren, maka peran pesantren kian terlihat nyata. Mereka yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren kemudian juga belajar di berbagai lembaga pendidikan lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri, pada umumnya memandang pesantren tetap memiliki tempat terhormat sebagai lembaga pendidikan Islam khas Indonesia yang dapat diruntut pertalian keilmuan dan kurikulumnya dengan pusat-pusat pembelajaran ilmu agama Islam di berbagai belahan dunia. Optimisme itu biasanya mendasarkan pada bukti-bukti bahwa pesantren masih tetap terselenggara sejak ratusan tahun yang lalu, lulusannya dapat memainkan peranan yang berharga di bidang keilmuan atau kepemimpinan, dan belum ada lembaga pendidikan yang berhasil melahirkan ulama dari generasi ke generasi dalam kapasitas sebagaimana yang diluluskan oleh pesantren.
Pada intinya, pesantren sangat bisa menghasilkan pemimpin atau kepribadian yang kuat dalam beragama dan tidak tertinggal dalam bidang teknologi. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Komarudin Hidayat menyatakan: "Justru sekarang sekolah-sekolah semakin mengarah ke model pesantren, padahal itu di luar negeri."4) Ini bukti nyata bahwa pendidikan model pesantren tidak diragukan lagi dalam membentuk karakter anak didik. Kalau perlu, justru pendidikan model pesantren harus terus dikembangkan dan diperbanyak.
Apa Pondok Pesantren?
Menurut Amin Haedari dalam bukunya Masa Depan Pesantren, pesantren pada umumnya sering juga disebut sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional di mana seluruh siswa didik tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang kiai. Asrama para santri berada di lingkungan komplek pesantren, yang terdiri dari rumah kiai, masjid, ruang belajar, majlis mengaji, dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Pondok atau tempat tinggal para santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam negara-negara lain. Bahkan, sistem pondok ini pula yang membedakan pesantren dengan sistem pendidikan surau di Minangkabau. Dalam kategori hampir serupa, di Afganistan, para murid dan guru yang belum menikah tinggal di masjid sekitar pesantren.
Metode Belajar di Pesantren
Dalam tradisi pondok pesantren dikenal beberapa metode pengajaran, antara lain;
- Bandongan atau Weton
Bandongan atau biasa disebut metode wetonan adalah cara penyampaian kitab kuning di mana seorang guru, kiai atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab kuning. Sementara santri, murid atau siswa mendengarkan, memberi makna dan menerima wejangan. Dalam metode ini, guru berperan aktif, sementara murid bersifat pasif. Metode bandongan atau weton dapat bermanfaat ketika jumlah murid cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara materi yang disampaikan cukup banyak. Sedangkan E. Shobirin Nadj, dalam artikelnya Perspektif Kepemimpinan dan Manajemen Pesantren, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bandongan adalah mengikuti dan memperhatikan. Proses pengajaran kiai membacakan kata-perkata atau kalimat-perkalimat dan menerjemahkan kemudian diterangkan arti maksudnya lebih jauh kepada para santri/murid. - Sorogan
Sorogan adalah metode belajar yang berbeda dengan metode bandongan. Dalam metode sorogan, murid membaca kitab kuning dan memberi makna, sementara guru mendengarkan sambil memberi catatan, komentar atau bimbingan bila diperlukan. Akan tetapi dalam metode ini, dialog antara guru dengan murid belum atau tidak terjadi. Metode ini tepat bila diberikan kepada murid-murid seusia ibtidaiyah/dasar dan tsanawiyyah/menengah. E. Shobirin Nadj mengatakan, bahwa sorogan berasal dari kata sorog yang berarti mengajukan. Tata caranya adalah seorang santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kiai atau pembantu kiai, kemudian kiai memberikan tuntunan bagaimana cara membacanya dan menghafalkannya. - Hafalan
Hafalan adalah sebuah metode pembelajaran yang mengharuskan murid mampu menghafal naskah atau syair-syair dengan tanpa melihat teks yang disaksikan oleh guru. Metode ini cukup relevan untuk diberikan kepada murid-murid usia anak-anak, tingkat dasar dan tingkat menengah. Karena menghafal sama dengan mengajak otak agar tetap bekerja. Jika diibaratkan pisau agar tidak cepat tumpul, maka harus sering diasah. Begitupun dengan otak manusia. Agar tidak mudah hilang hafalannya juga harus sering diasah. - Diskusi (Muhaddarah)
Metode ini sebagai penyajian bahan pelajaran dengan cara murid atau santri membahasnya bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah tertentu yang ada dalam kitab kuning atau pelajaran lainnya. Dalam metode ini, kiai atau guru bertindak sebagai moderator karena metode diskusi bertujuan agar murid atau santri aktif dalam belajar. Melalui diskusi ini, akan tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis dan logis. - Belajar untuk Berkarya
Pola pendidikan pondok pesantren yang merupakan sistem asrama (boarding house) mengajarkan pada para santri hidup secara mandiri, sederhana, kreatif dan berorientasi pada karya. Pola hidup khas pondok pesantren seperti ini memberikan dampak positif ketika para santri mengikuti pendidikan kesetaraan. Karena sistem metedeologi dan pendekatan yang digunakan pada pendidikan kesetaraan sepenuhnya sama dengan yang diterapkan pada pondok pesantren. Selain memberikan pengetahuan umum dan agama, pendidikan kesetaraan pondok pesantren memberikan bekal kepada para santri kecakapan hidup yang meliputi kecakapan pribadi, kecakapan intelektual, kecakapan sosial dan kecakapan vokasional. Sistem pembelajaran dirancang sedemikian rupa untuk mengembangkan kecakapan komprehensif, kompetitif dan mendorong agar para santri mampu mengimplementasikan pengetahuan dan kecakapannya dalam berkarya. Pembelajaran yang diimplementasikan dalam karya laksana buah dari "pohon ilmu". al-'Ilmu bila 'amal ka al-syajar bila tsamar. Ilmu tak diiringi dengan karya, ibarat pohon yang tak menghasilkan buah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H