Hari ini, rakyat Indonesia menggunakan haknya untuk memilih pemimpin yang menentukan nasib mereka di negeri macan Asia yang tertidur ini. Indonesia menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 pada Rabu, (27/11/2024).
Namun, ada satu fenomena unik yang sering, atau hampir terjadi di setiap pagelaran pesta demokrasi di negeri ini, namanya serangan fajar.
Lihat juga: Peran dan Sikap Muhammadiyah Menyongsong Pesta Demokrasi 2024
Serangan fajar merupakan salah satu bentuk politik uang yang dilakukan di hari-hari terakhir menjelang pelaksanaan Pemilu atau Pilkada, misalnya pada H-1 malam atau hari H pada pagi hari.
Biasanya, hal ini dilakukan oleh timses paslon tertentu yang mendatangi warga sembari memberikan sejumlah uang dengan tujuan agar mereka memilih paslon yang didukung.
Serangan Fajar Sudah Lama Ada
Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Lidya Shery Muis SH MH MKN turut menanggapi fenomena tersebut.
“Sebenarnya fenomena serangan fajar bukan hal baru dalam kontestasi politik di Indonesia, terutama dalam Pilkada. Praktik ini sudah ada sejak lama dan cenderung semakin menjamur seiring dengan semakin kompleksnya persaingan politik,” kata ketua program studi Hukum Umsida itu.
Meskipun tidak ada data yang sangat akurat mengenai kapan pertama kali praktik ini muncul, imbuhnya, namun literatur politik dan pengalaman menunjukkan bahwa serangan fajar telah menjadi bagian dari budaya politik negeri ini.
Fenomena ini masih sering terjadi lantaran beberapa faktor. Dr Lidya menjelasan beberapa di antaranya, seperti:
- Sudah tertanam kuat dalam budaya politik Indonesia, yang menunjukkan bahwa politik sering diidentikkan dengan materi dan kekuasaan.
- Lemahnya penegakan hukum. Pelaku sulit untuk dijerat karena sudah dianggap budaya yang wajar saat pilkada. Hukuman yang diberikan tidak menimbulkan efek jera.
- Rendahnya tingkat pendidikan pemilih membuat mereka rentan terhadap iming-iming materi.
- Sistem politik yang belum matang. Sistem politik yang belum sepenuhnya demokratis dan partisipatif membuka peluang bagi praktik-praktik kotor seperti serangan fajar.
Tindakan yang Melanggar Hukum
Sebagai pakar hukum, Dr Lidya menjelaskan bahwa serangan fajar merupakan tindakan yang melanggar hukum.
Dasar hukumnya dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam UU tersebut, terdapat beberapa pasal yang secara tegas melarang praktik politik uang, termasuk serangan fajar.
“Bentuk serangan fajar tidak hanya berupa uang tunai. Barang seperti sembako, voucher pulsa, bahan bakar, atau barang lain yang memiliki nilai ekonomi juga termasuk dalam kategori politik uang,” kata doktor lulusan Universitas Airlangga itu.
Hal ini, tambahnya, telah diatur dalam Pasal 30 ayat (2) dan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2018, yang menjelaskan perbedaan antara bahan kampanye yang diperbolehkan dan yang melanggar aturan.
Sanksi bagi pelaku serangan fajar diatur dalam UU Pemilu. Dosen yang mengambil double master degree di Unair dan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya itu berkata bahwa sanksi yang dapat diberikan bervariasi, mulai dari denda hingga pidana penjara.
Namun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penegakan hukum terhadap praktik ini masih menjadi tantangan karena sangat sulit pembuktiannya.
“UU Pemilu telah mengatur secara cukup komprehensif mengenai larangan politik uang. Namun, dalam praktiknya, masih banyak kendala yang dihadapi dalam mencegah praktik ini,” katanya.
Ia menjelaskan beberapa kendala dalam penerapan UU tersebut, antara lain:
- Sulitnya mengumpulkan bukti karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
- Lembaga penyelenggara pemilu dan penegak hukum memiliki keterbatasan sumber daya untuk melakukan pengawasan dan penindakan secara efektif.
- Kurangnya koordinasi antara berbagai pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, seperti partai politik, pemerintah, dan masyarakat sipil, juga menjadi kendala.
Dampak Buruk dan Pentingnya Kesadaran Masyarakat
Sebagai tindakan yang melanggar UU, ada beberapa dampak negatif akibat fenomena ini, misalnya:
- Merusak integritas Pemilu dan merendahkan martabat demokrasi.
- Menguntungkan kelompok elit yang memiliki banyak uang dan kekuasaan.
- Pemimpin yang terpilih melalui praktik serangan fajar cenderung tidak memiliki kualitas dan integritas yang baik.
Lalu, bagaimana sebaiknya masyarakat menanggapi hal ini? Dr Lidya menjelaskan beberapa hal yang bisa dilakukan masyarakat dalam berperan memerangi praktik serangan fajar.
Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat antara lain:
- Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran tentang bahaya praktik serangan fajar dan dampaknya terhadap demokrasi.
- Masyarakat harus berani menolak segala bentuk iming-iming materi dalam pemilihan.
- Jika mengetahui adanya praktik serangan fajar, masyarakat harus segera melaporkannya kepada pihak berwajib.
- Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengawasan pemilu untuk mencegah terjadinya praktik-praktik kotor.
Lihat juga: Menilik Kesiapan Pilkada Sidoarjo 2024, Ini Kata Pakar Politik Umsida
Itulah beberapa hal terkait “budaya” serangan fajar yang masih terjadi pada pagelaran pesta demokrasi di Indonesia hingga saat ini. Mari gunakan hak sebagai warga negara dengan sebaik-baiknya untuk lima tahun ke depan.
Penulis: Romadhona S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H