Di persidangan, tim kuasa hukum pihak Pemohon dan pihak Terkait (Paslon 02) beradu saksi Ahli guna meletakkan batasan kompetensi MK sesuai kepentingan mereka. Pihak Pemohon bersama saksi ahlinya mengajukan perluasan ruang kompetensi absolut MK hingga di luar penetapan hasil pemenang Pilpres. Sebaliknya, Pihak Terkait dengan tim Ahlinya, mengajukan dalil pembatasan ruang kompetensi MK sebatas sengketa hasil Pemilu.
Munculnya Konsep TSM
Perdebatan terkait ruang kompetensi MK dalam penyelesaian sengketa Pemilu sudah ada sejak lahirnya konsep terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dalam proses penyelesaian sengketa Pilkada di MK, yakni dalam perkara Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Jawa Timur 2008.
Konsep TSM yang lahir dalam perkara itu diletakkan sebagai bagian kemerdekaan hakim dalam memaknai dan guna mewujudkan tujuan konstitusi. Dalam hal ini konsep TSM dihadirkan untuk menjembatani kebutuhan MK dalam menghasilkan suatu putusan yang berkeadilan substantif. Namun, salah satu kritik atas putusan itu adalah tercederainya prinsip legalitas, karena putusan MK saat itu bersifat ultra petita yang potensial bersifat ultra vires.
Menariknya, konsep TSM yang lahir dalam proses persidangan di MK itu kemudian disudahi penggunaannya dalam proses Pemilukada selanjutnya. Penegasan Mahkamah Konstitusi untuk tidak lagi menerima gugatan PHPU terkait kecurangan TSM ini disampaikan oleh Prof Arief Hidayat selaku Ketua MK saat itu, menjelang proses Pilkada serentak Tahun 2015. Aspek utama yang menjadi pertimbangan MK adalah efektivitas penanganan perkara di MK, yang secara sistemis dirancang singkat, meliputi sengketa hasil, bukan prosesnya. MK saat itu menekankan sengketa TSM sebagai sengketa atas prosedur Pemilihan, yang penyelesaiannya harusnya melalui instrumen Gakkumdu (Penegakan hukum terpadu dan PTUN).
Terlepas dari sikap MK di tahun 2015 tersebut, perlu juga dicatat, bahwa yurisprudensi terkait kecurangan TSM tersebut terjadi pada perkara Pemilukada, bukan pada proses Pemilu maupun Pilpres. MK dalam sengketa Pilpres Tahun 2019 juga secara konsisten mengecualikan kecurangan TSM dari obyek sengketa hasil Pilpres.
Lihat juga: Pakar Umsida Tentang Putusan MK: Kedudukan Penggugat Hingga Angin Segar Pemimpin Muda
Catatan ini penting, mengingat rezim Pilkada didesain berbeda dengan rezim Pemilu dan Pilpres. Kondisi tersebut tentunya memunculkan pertanyaan terkait relevansi penggunaan konsep TSM dalam proses penyelesaian sengketa Pilpres. Sehingga wajar jika Pemohon 2 ketika mendorong perluasan wewenang MK pada ranah kecurangan TSM, tidak menggunakan landasan perkara No. 41/PHPU.D-VI/2008. Pemohon 2 memilih pendekatan perbandingan hukum dengan mengetengahkan praktek pembatalan hasil Pilpres oleh MK di beberapa negara.
Bagi penulis, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian perkara PHPU harus merujuk pada substansi dan intensi dari ketentuan Pasal 24C Ayat (1) yang rumusannya adalah "... dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.". Rumusan itu secara tegas menyatakan bahwa wewenang MK adalah dalam menyelesaikan perselisihan tentang hasil.
Pembedaan jenis perkara itu tidak terlepas dari sistem penegakan hukum kepemiluan di Indonesia yang menyediakan instrumen kelembagaan yang bersifat otonom dalam Gakkumdu, PTUN dan MK. Ketiganya memiliki peran dan Tupoksi tersendiri, yang harusnya saling bersinergi, bukan saling menumpangi apalagi bertabrakan. Dalam konteks ini, maka konsep tentang hasil Pemilu yang menjadi kompetensi MK menjadi jelas, yakni di luar sengketa proses Pemilu, yang dalam Peraturan Bawaslu No. 03 Tahun 2023, penyelesaiannya melalui Gakkumdu.
Wewenang MK dalam mengadili sengketa hasil Pemilu/Pilpres, tidak seyogyanya hanya difahami sebagai proses kalkulasi perhitungan suaranya semata. Konsep tentang hasil, harusnya dimaknai sebagai proses persidangan terkait selisih rekapitulasi, keabsahan data hasil rekapitulasi, dan legitimasi hasil pemilihan Pemilu itu sendiri. Dalam pemaknaan ini, maka peradilan PHPU MK tidak sekedar menjalankan fungsi Mahkamah Kalkulator. Mahkamah pada dasarnya boleh mengadili perihal keabsahan data hasil Pemilu dan legitimasi hasil Pemilu, yang dapat berujung pada putusan yang mengubah hasil pemenang Pemilu/Pilpres.
Peradilan harus berpijak pada data dan fakta otentik yang dapat dibuktikan secara materiil dalam peradilan. Pembuktian atas kecurangan prosedural yang dituduhkan oleh Pemohon harus dapat dibuktikan berkaitan dengan keabsahan hasil perhitungan suara dan legitimasi hasil Pemilu. Hal ini dapat dikaitkan dengan konsep causa verband yang menjadi syarat bagi pendalilan kerugian pihak Pemohon. Jika Pemohon berpandangan bahwa terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada pemenangan Pihak Terkait, maka Pihak Pemohon harus dapat membuktikan bahwa perbuatan itu berkaitan secara langsung terhadap kekalahannya.