Pada awal 2025 mendatang, pemerintah akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tahun ini 11% menjadi 12%. Hal ini mengundang spekulasi dari berbagai pihak. Ekonom Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Kumara Adji Kusuma SFilI CIFP turut menanggapi isu kenaikan PPN tersebut.
Misalnya, saat seseorang berlangganan streaming dengan harga seratus ribu per bulan. Jika sebelumnya ia harus membayar sebesar Rp 111.000 termasuk pajak, maka dengan regulasi ini, orang tersebut harus membayar langganan Rp 112.000 per bulan.Â
Baca juga: BI Terbitkan SRBI Tanggal 15 Esok, Ini Kata Ekonom Umsida
Sebenarnya, regulasi ini telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun belakangan, bertepatan dengan momen pagelaran demokrasi politik yang cukup ramai, masyarakat baru mengetahui kebijakan ini sehingga banyak dari mereka yang mengaitkan bahwa kenaikan PPN adalah dampak hasil perolehan pemilu.
Dampak kenaikan PPN
Terlepas dari hal tersebut, kenaikan PPN ini tentu akan memiliki dampak yang cukup signifikan bagi masyarakat. Bisa dari segi biaya hidup, inflasi, daya beli, hingga pengeluaran sektor usaha.Â
"Di sisi positif, memang kenaikan PPN bisa menjadi sumber pendapatan tambahan bagi pemerintah yang dapat digunakan untuk mendukung program-program fiskal seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Namun, efektivitas penggunaan dana tambahan ini harus dipertimbangkan dengan cermat agar tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih besar bagi masyarakat", ucap Dr Adji.
Selain itu, kenaikan PPN bisa bermanfaat untuk memperbaiki anggaran negara yang terus merosot. Kepala unit sekretariat Umsida tersebut menjelaskan tentang dampak negatif dari regulasi kenaikan PPN.
1. Kenaikan biaya hidup
Kenaikan tarif PPN dapat menyebabkan kenaikan biaya hidup bagi masyarakat. Hal ini terutama terjadi karena barang-barang dan jasa yang dikenakan PPN akan menjadi lebih mahal, sehingga konsumen perlu mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli barang-barang tersebut.
Baca juga: Apakah Panic Buying Terjadi Karena Situasi Ekonomi, Gender, dan Pendidikan?