" Ya, Pak. Setujuuu....," sahut kami serentak. Wah, menyenangkan sekali bisa membeli buah belimbing dikebunnya. Pasti melimpah dan tinggal pilih. Saya sudah membayangkan betapa kami akan sangat puas menikmati buah belimbing yang segar.
Bus sudah parkir diperkebunan belimbing. Patung buah belimbing menyambut kedatangan kami. Kami semua turun dari bus dan berjalan ke perkebunan. Kami sangat bersemangat akan memetik buah belimbing.
Kami berjalan memasuki perkebunan. Dikanan kiri jalan banyak sekali pohon belimbing. Kami terus melangkah dan melangkah. Berjalan dan berjalan karena belum menemukan apa yang kami cari. Pohon belimbing yang banyak dikanan kiri jalan tidak ada buahnya. Disebelah mana kami akan bisa memetik buahnya?
Setelah berjalan sampai berkeringat, ada orang yang menginformasikan kepada kami bahwa musim panen belimbing sudah selesei. Â Sekarang pohonnya baru berbunga. What?! Kami kecewa. Kecele dalam bahasa Jawa. Sudah bersemangat mendatangi ternyata yang dicari tidak ada.
Sebagai obat kekecewaan, sebagian dari kami  membeli bibit pohon belimbing. Saya juga membeli. Akan kami tanam dibelakang rumah, mudah-mudahan buahnya bisa banyak dan besar-besar seperti diperkebunan.
Begitulah cerita asal pohon belimbing kami. Saat ini buahnya masih jelek, namun kami akan berupaya dan mencari informasi supaya buahnya bagus dan normal kembali tanpa dimakan ulat. Sama seperti buah jambu air kami. Dahulu buahnya juga dimakan lalat buah. Hampir tak tersisa. Namun kini sudah normal lagi. Buahnya kini besar, merah dan sangat manis. Tidak kalah dengan yang dijual ditoko buah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H